MAKASSAR, RAKYAT NEWS – Sehari setelah dipindahkan dari Sorong, Papua Barat Daya, ke Makassar, empat tersangka dugaan kasus makar langsung dihadirkan di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, jalan Raden Ajeng Kartini Kamis (28/08).

Namun, oh aduhai, sungguh aduhai. Sidang perdana harus ditunda lantaran mereka tidak didampingi pengacara. Tiada advokat, sidangpun tak jadi.

Salah satu kuasa hukum para terdakwa, Yan Christian Warinussy, mengaku tidak bisa hadir karena baru diberitahu mengenai jadwal sidang pada Rabu (27/08) malam, sedangkan ia berada di Papua Barat Daya.

“Kasus makar ancaman hukumannya di atas lima tahun, sehingga wajib ada pendampingan hukum. Tanpa itu, sidang tidak bisa dilanjutkan,” ujar Yan.

Di ruang sidang, sekawan terdakwa—Abraham Goram Gaman, Maksi Sangkek, Piter Robaha, dan Nikson Mai—secara langsung meminta majelis hakim menunda sidang. Permintaan ini dikabulkan hakim, sehingga persidangan selanjutnya dijadwalkan pada 8 September 2025.

Jaksa penuntut umum Harlan membenarkan bahwa sidang perdana seharusnya beragenda pembacaan dakwaan. “Namun karena permintaan terdakwa, sidang ditunda ke agenda berikutnya,” ujarnya.

Keempat warga Sorong tersebut ditetapkan sebagai tersangka makar setelah mengirim surat berkop Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) kepada Gubernur Papua Barat Daya pada 14 April 2025.

Dalam surat itu, mereka meminta difasilitasi perundingan damai antara Presiden Joko Widodo—yang kini digantikan Presiden Prabowo Subianto—dan Presiden NFRPB, Forkorus Yaboisembut.

Alih-alih ditindaklanjuti, surat itu justru berujung kehadiran polisi yang singkat cerita, terjadilah penangkapan terhadap mereka. Persidangan yang awalnya dijadwalkan di Sorong dipindahkan ke Makassar dengan alasan keamanan. Banyak teman banyak rejeki, banyak pendukung bisa lain cerita.

Pemindahan ini memicu gelombang protes masyarakat Sorong pada Rabu (27/08). Aksi unjuk rasa berakhir ricuh dan aparat kepolisian menangkap sedikitnya 10 orang. Tindakan aparat tersebut kemudian menuai sorotan dari pegiat HAM dan kelompok sipil Papua yang menilai penangkapan dilakukan secara sewenang-wenang.

YouTube player