Pelabelan semacam ini dianggap hanya memperkeruh situasi dan membenarkan pendekatan represif aparat.

Penangkapan aktivis tidak hanya terjadi di Jakarta. Di Bali, Syahdan Husein ditangkap oleh aparat meski Polda Bali membantah keterlibatannya.

Sementara itu, dua pendamping hukum dari YLBHI dilaporkan ditangkap saat mendampingi demonstran di Manado dan Samarinda. Salah satu dari mereka bahkan diperiksa hingga dini hari sebelum dibebaskan dengan syarat tertentu.

Kasus lain menimpa Khariq Anhar, mahasiswa Universitas Riau yang ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta karena unggahan media sosial terkait demonstrasi buruh.

Menurut Tim Advokasi untuk Demokrasi, penangkapan Khariq dilakukan secara kekerasan dan tanpa prosedur hukum yang layak. Ia kemudian dijerat dengan pasal-pasal dalam UU ITE karena dianggap menyebarkan konten palsu.

Situasi kian memanas dengan adanya imbauan dari TNI agar masyarakat membentuk Pam Swakarsa. Amnesty memperingatkan bahwa pengerahan kekuatan sipil seperti ini berisiko menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat.

“Alih-alih meredam konflik, ini justru bisa memperburuk keadaan,” kata Usman.

Amnesty International menutup pernyataannya dengan mendesak Presiden untuk benar-benar membuktikan komitmennya terhadap kebebasan berekspresi.

“Tanpa tindakan nyata, pernyataan Presiden bahwa negara terbuka terhadap aspirasi rakyat hanyalah slogan kosong yang terkubur oleh praktik otoriter yang nyata,” pungkas Usman.(Uki Ruknuddin)