Selain itu, pelibatan TNI dalam perkara ini juga melanggar UU TNI No. 3 Tahun 2025, yang menyatakan bahwa peran TNI dalam dunia siber hanya sebatas membantu pertahanan negara terhadap ancaman eksternal. Kehadiran Komandan Satuan Siber TNI dalam konteks pelaporan terhadap warga sipil dinilai sebagai penyimpangan dari mandat undang-undang dan indikasi pelanggaran terhadap batas peran militer dalam demokrasi.

Di sisi lain, kasus teror terhadap Ardi Manto memperkuat kekhawatiran akan makin menyempitnya ruang aman bagi pembela HAM di Indonesia. Ardi dikenal luas sebagai tokoh vokal yang menolak dominasi militer dalam sektor sipil dan secara terbuka mengkritik revisi UU TNI. Koalisi menyebut serangan terhadapnya sebagai tindakan teror yang sistematis dan diduga kuat berkaitan dengan aktivitas advokasinya.

Koalisi juga menuntut agar Polda Metro Jaya segera mengusut tuntas kasus perusakan dan peretasan terhadap Ardi secara transparan dan independen. Selain itu, mereka menyerukan pembebasan semua aktivis dan pembela HAM yang ditangkap terkait demonstrasi akhir Agustus, serta mendesak Komnas HAM, DPR, dan pemerintah untuk menyelidiki dugaan keterlibatan oknum TNI dalam kerusuhan yang terjadi.

Dalam pernyataan tegasnya, Koalisi menyatakan bahwa demokrasi akan terancam apabila militer terus melangkahi batas peran konstitusionalnya. TNI bukanlah alat kekuasaan untuk membungkam kritik, melainkan penjaga pertahanan negara yang tunduk pada supremasi sipil dan hukum. Pelibatan militer dalam urusan domestik secara sepihak dinilai hanya akan menurunkan kualitas demokrasi Indonesia.

Koalisi yang terdiri dari puluhan organisasi seperti YLBHI, KontraS, Imparsial, Amnesty International Indonesia, dan lainnya, menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat untuk tidak diam. Mereka menegaskan bahwa upaya kriminalisasi dan teror terhadap pembela HAM adalah ancaman nyata terhadap kebebasan sipil, transparansi negara, serta kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi.(Uki Ruknuddin)