Menurutnya, pemerintah daerah tidak memiliki keberanian politik untuk menghadapi perusahaan milik negara maupun kementerian yang membawahi mereka.

“Bupati atau gubernur itu tidak berani mengambil keputusan ketika dia berhadapan dengan kementerian BUMN, apalagi bicara kawasan hutan,” jelasnya.

Reforma Agraria yang Mandek Di tengah situasi ini, gagasan reforma agraria yang dijanjikan pemerintah pusat tak kunjung terlihat nyata. Rapat Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang dipimpin pejabat provinsi hanya berhenti pada program administrasi tanah, bukan menyentuh konflik-konflik agraria yang sudah berlangsung puluhan tahun.

“Komitmen pemerintah provinsi Sulawesi Selatan terkait penyelesaian konflik agraria itu tidak ada, baik itu komitmen politik ataupun kebijakan,” tegas Indarto.

Harapan yang Tersisa

Di jalanan Makassar, puluhan organisasi tani, mahasiswa, dan elemen masyarakat lain turun aksi pada Hari Tani Nasional 24 September 2024 lalu. Mereka mendesak negara mengembalikan kedaulatan agraria kepada rakyat, membentuk badan penyelesaian konflik di bawah presiden, hingga menghentikan kriminalisasi terhadap petani. Bagi Layu, semua desakan itu sederhana: tanah kembali kepada pemiliknya.

“Kalau saya bertemu dengan pemerintah, saya akan sampaikan agar kiranya mohon segera diselesaikan masalah ini, yang telah lama dirampas oleh perusahaan PTPN, pabrik gula,” ujarnya.

Sementara itu, KPA menekankan perlunya komitmen politik dari pemerintahan Prabowo–Gibran. “Harapannya pemerintah betul-betul melaksanakan reforma agraria sejati, bukan hanya janji-janji atau pidato pasal 33 UUD, tapi berani mengambil langkah besar,” kata Indarto.

Dwiki Luckianto Septiawan