Demo Anti ‘Mafia Lelang’ Neobank di Jakarta & Makassar, Kuasa Hukum: Lelang Harusnya Upaya Akhir
RAKYAT NEWS, JAKARTA – Bank digital Neobank kini menjadi sorotan publik setelah diterpa dugaan praktik “mafia lelang” yang mencuat usai gelombang demonstrasi di dua kota besar, Jakarta dan Makassar. Aksi ini di pimpin oleh korlap Albar , menurut kuasa hukum debitur yang menolak rencana lelang aset kliennya oleh pihak bank.
Dalam aksinya, massa menuntut pembatalan eksekusi aset yang dinilai tidak transparan dan melanggar prinsip keadilan. Dua kantor Neobank menjadi sasaran aksi Jakarta dan Makassar. Mereka membawa poster bertuliskan “Tolak Mafia Lelang” dan “Bank Digital Kok Main Lelang Diam-Diam?”
Awal Persoalan: Lelang di Denpasar yang Penuh Kejanggalan
Kasus ini bermula dari rencana lelang aset milik klien Hasidah yang berlokasi di Denpasar, Bali.
Menurut Hasidah, keputusan Neobank untuk melelang aset tersebut dilakukan tanpa transparansi dan tanpa komunikasi terbuka dengan pihak debitur. Padahal, kata dia, kliennya masih memiliki kemampuan untuk menyelesaikan kewajibannya.
“Klien kami masih punya itikad baik dan kemampuan bayar. Kami sudah ajukan permohonan pelunasan outstanding pokok pinjaman , tapi justru mereka menutup pintu komunikasi,” ujar Hasidah S. Lipung, kepada wartawan di Jakarta, Rabu (15/10).
Hasidah menilai langkah lelang yang difasilitasi oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Denpasar itu terkesan dipaksakan. Ia menduga, ada unsur kepentingan tertentu yang bermain di balik proses eksekusi ini.
“Kami menduga ada praktik mafia lelang. Prosesnya tidak wajar, tiba-tiba aset diumumkan lelang tanpa melibatkan kuasa debitur yang hadir untuk mengikuti proses lelang ,” tegasnya.
“Lelang Itu Upaya Terakhir, Bukan Langkah Pertama”
Dalam penjelasannya, Hasidah mengutip dasar hukum pelaksanaan lelang sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 213/PMK.06/2020 dan UU Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996. Ia menegaskan, lelang seharusnya menjadi upaya terakhir setelah semua opsi penyelesaian kredit gagal.
“Sudah jelas di dalam aturan, lelang itu dilakukan hanya jika debitur sudah benar-benar tidak mampu membayar. Tapi dalam kasus ini, klien kami masih sanggup, bahkan siap melunasi sisa utang,” ujarnya.
Menurutnya, tindakan Neobank justru menunjukkan kesewenang-wenangan, apalagi dilakukan oleh bank digital yang seharusnya menjunjung transparansi dan perlindungan konsumen.
“Ini bukan cuma pelanggaran etika bisnis, tapi juga pelanggaran hukum perbankan,” tambahnya.
Dugaan Mafia Perbankan dan Keterlibatan KPKNL
Lelang tersebut diketahui difasilitasi oleh KPKNL Denpasar, lembaga di bawah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan. Hasidah menduga proses ini dilakukan tanpa pengawasan memadai dan berpotensi membuka celah permainan harga serta kepentingan pihak tertentu.
“Kami sudah mengirimkan surat keberatan kepada KPKNL, tapi tidak ada tanggapan. Kami menduga ada oknum yang memanfaatkan celah sistem ini untuk kepentingan tertentu,” katanya.
Menurut Hasidah, proses lelang seharusnya diumumkan secara terbuka, dengan nilai limit yang sesuai hasil appraisal dan pemberitahuan resmi kepada pemilik jaminan. Namun dalam kasus ini, banyak tahapan yang disebut tidak dijalankan sesuai prosedur.
Desakan ke OJK dan Aparat Hukum
Kuasa hukum Hasidah S. Lipung mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan aparat penegak hukum untuk segera mengusut dugaan praktik mafia lelang ini. Ia juga menuntut agar Kementerian Keuangan melalui DJKN melakukan audit terhadap proses lelang yang dilakukan oleh KPKNL Denpasar.
“Kami tidak menuduh sembarangan. Kami punya bukti surat dan kronologi lengkap. Kalau lembaga negara diam saja, ini akan jadi preseden buruk bagi dunia perbankan,” ujarnya.
Hasidah menegaskan, pihaknya akan mengajukan gugatan perdata dan pidana jika tidak ada respons resmi dari regulator dalam waktu dekat.
“Kami siap tempuh jalur hukum sampai tuntas. Ini bukan hanya tentang satu aset, tapi tentang keadilan dan etika perbankan,” katanya.
Analisis: Krisis Kepercayaan di Era Bank Digital
Kasus Neobank menjadi tamparan keras bagi industri bank digital yang selama ini menjual citra modern, efisien, dan beretika.
Pakar perbankan digital, Dr. Irfan Yusuf, menilai bahwa kasus seperti ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan mekanisme perlindungan nasabah di era digitalisasi finansial.
“Teknologi seharusnya memperkuat akuntabilitas, bukan jadi tameng untuk menutupi praktik tidak etis,” ujarnya.
Jika dugaan ini terbukti, menurut Irfan, kepercayaan publik terhadap bank digital bisa menurun tajam.
“Satu kasus saja bisa mengguncang citra seluruh industri. Bank digital harus sadar, kepercayaan adalah aset utamanya,” tambahnya.

Tinggalkan Balasan