Oleh : Baharuddin Hafid
(Dosen Tetap Universitas Megarezky Makassar)

Pidato Bahlil Lahadalia pada perayaan HUT ke-61 Partai Golkar kembali memantik diskusi mengenai arah demokrasi lokal di Indonesia, khususnya mengenai efektivitas model pemilihan langsung kepala daerah. Dalam momentum politik menjelang konsolidasi partai, seruan Bahlil agar bangsa ini berani mengevaluasi kembali sistem pemilihan bupati/wali kota adalah sinyal bahwa isu desain kelembagaan demokrasi masih jauh dari final.

Di tengah dinamika demokratisasi, refleksi ulang terhadap mekanisme pilkada bukan hanya wajar, melainkan perlu, selama dilakukan secara akademik, rasional, dan berpihak pada kepentingan publik.

1. Konteks Pidato: Kritik atas Biaya Demokrasi yang Tinggi

Bahlil menyoroti salah satu persoalan laten dalam sistem pemilihan langsung: biaya politik yang amat besar. Fenomena “mahalnya demokrasi” ini telah dikritik luas oleh berbagai studi, baik dalam ilmu politik maupun ekonomi politik pemilu.

Beberapa fakta yang relevan:

  • Calon kepala daerah harus menyediakan dana kampanye yang tidak sedikit—seringkali berujung pada ketergantungan pada sponsor politik atau investor lokal.
  • Proses kampanye menuntut penggunaan logistik, baliho, konsultan politik, hingga mobilisasi massa yang sulit dihindari.
  • Setelah menjabat, sebagian kepala daerah “balas budi” kepada para penyokongnya, menciptakan lingkaran rent-seeking.

Dengan demikian, kritik Bahlil sejalan dengan problem empiris yang selama ini disuarakan para akademisi.

2. Menimbang Kembali Desain Pilkada Langsung

Pidato tersebut dapat dibaca sebagai ajakan untuk membuka ruang diskusi tentang opsi menata ulang (reformulating) sistem pemilihan kepala daerah. Namun diskursus ini harus berada dalam koridor ilmiah, bukan nostalgia terhadap model lama yang sentralistik.

Terdapat tiga opsi yang sering dibahas:

a. Tetap Pilkada Langsung dengan Reformasi Biaya Politik

Model ini mempertahankan hak partisipasi rakyat, tetapi memperbaiki sistem pembiayaan politik:

  • Pembatasan ketat dana kampanye.
  • Audit keuangan kampanye yang transparan.
  • Digitalisasi kampanye untuk mengurangi biaya logistik.
  • Pendanaan negara untuk kampanye terbatas (state funding).

b. Pemilihan oleh DPRD dengan Penguatan Tata Kelola

Opsi ini mengurangi biaya tetapi rentan pada politik transaksional di level legislatif daerah. Jika direview, harus diiringi dengan:

  • Sistem transparansi voting.
  • Sanksi berat bagi transaksi politik.
  • Pengawasan publik dan lembaga etik daerah.

c. Model Hybrid: Seleksi Administratif–Profesional dan Pemungutan Suara Terbatas

Gagasan ini menggabungkan unsur merit-based selection (uji kompetensi, integritas, visi pembangunan), lalu diserahkan pada pemungutan suara publik. Tujuannya menurunkan jumlah “calon instan” yang hanya bermodal uang.

3. Dimensi Governance: Apakah Sistem Pemilihan Menghasilkan Pemimpin Efektif?

Pidato Bahlil pada dasarnya mengarah pada pertanyaan mendasar:

Apakah sistem pilkada langsung telah melahirkan pemimpin daerah yang efektif, berintegritas, dan mampu menciptakan pertumbuhan?

Data beberapa tahun terakhir menunjukkan:

  • Tidak sedikit kepala daerah tersangkut kasus korupsi akibat biaya politik tinggi.
  • Pergantian kepemimpinan lima tahunan mengganggu kesinambungan pembangunan.
  • Banyak daerah yang tidak memiliki kapasitas fiskal memadai sehingga pemimpin hanya menjadi “manajer” administrasi, bukan inovator pembangunan.

Kritik ini bukan untuk meniadakan pilkada langsung, melainkan menegaskan bahwa demokrasi prosedural tidak otomatis menjamin tata kelola pemerintahan yang baik.

4. Catatan Kritis terhadap Pidato Bahlil

Walau pidatonya relevan, terdapat beberapa catatan penting:

a. Wacana Reformasi Pilkada Tidak Boleh Dijadikan Alat Politik Elektoral

Isu perubahan sistem tidak boleh digiring menjadi narasi yang menguntungkan kelompok politik tertentu. Ketika dibahas dalam forum HUT partai, wacana ini riskan dianggap sebagai strategi reposisi politik.

b. Perlu Kajian Interdisipliner, Bukan Hanya Sentimen Praktisi Politik

Desain pemilihan daerah adalah isu konstitusional yang memerlukan:

  • Kajian hukum tata negara,
  • Riset politik perbandingan (comparative politics),
  • Studi ekonomi politik pembangunan daerah,
  • Masukan masyarakat sipil.

c. Demokrasi Tidak Boleh Direduksi Menjadi Soal Biaya

Argumen biaya harus dibarengi pertanyaan: bagaimana mempertahankan kedaulatan rakyat tanpa memiskinkan proses politik?
Jangan sampai solusi yang ditawarkan mencabut partisipasi publik.

5. Menata Ulang Pilkada: Prinsip-Prinsip Normatif

Agar wacana yang disampaikan Bahlil tidak jatuh menjadi sekadar retorika politik, maka diskursus desain pemilihan kepala daerah harus dituntun oleh prinsip-prinsip normatif berikut:

  1. Demokrasi substantif dan prosedural berjalan seimbang.
  2. Kekuatan uang dibatasi melalui regulasi dan penegakan hukum.
  3. Transparansi proses pencalonan dan pembiayaan menjadi prasyarat utama.
  4. Pembangunan daerah harus menjadi tujuan, bukan transaksi politik.
  5. Kedaulatan warga tetap dihormati.
  6. Kesimpulan: Demokrasi Lokal Butuh Pembaruan, Bukan Pemangkasan

Pidato Bahlil Lahadalia membuka kembali ruang diskusi publik yang penting:

Bagaimana menata ulang sistem pemilihan kepala daerah agar lebih efisien, murah, dan tetap demokratis.

Kritik atas biaya politik adalah benar, tetapi solusinya tidak boleh regresif. Yang dibutuhkan bukan penghapusan hak rakyat, melainkan:

  • Transparansi,
  • Inovasi kebijakan,
  • Penguatan institusi pengawas, dan
  • Reformasi menyeluruh sistem pendanaan politik.

Reformasi pilkada harus melangkah maju, bukan mundur. Indonesia perlu model demokrasi lokal yang efektif, berbiaya wajar, tetapi tetap memberi ruang kepada rakyat untuk menentukan masa depan wilayahnya.