Oleh : Haerullah Lodji (Pengurus PD Himpaudi Jeneponto)

Pada pagi yang cerah tanggal 20 Desember 2025, saya menyaksikan langsung bagaimana ruangan kelas TK LP2aud Belay Kasih berubah menjadi galeri yang penuh warna dan cerita. Dinding-dinding yang biasanya dipenuhi gambar edukatif kini menjadi tempat untuk memamerkan karya-karya kecil yang sarat dengan makna – buatan tangan para peserta didik yang masih berusia balita.

Saya melihat bukan sekadar benda-benda kerajinan atau gambar lukisan, melainkan sebuah jendela yang membuka pandangan tentang dunia anak-anak, beserta proses pembelajaran, karakter, dan potensi yang tumbuh di dalam diri mereka.

Setiap karya yang terpajang di ruangan itu adalah potret kecil dari alam pikiran seorang anak. Ketika saya melihat pohon cerita yang dibuat dari tutup botol berwarna-warni, menggambarkan siklus hidup ulat hingga menjadi kupu-kupu, saya bisa membayangkan bagaimana anak-anak itu mendengar cerita dari gurunya, kemudian mengubah pemahamannya menjadi bentuk yang nyata dengan tangan mereka sendiri.

Setiap tutup botol yang ditempelkan dengan hati-hati bukan hanya soal ketepatan motorik halus, tetapi juga cerminan dari bagaimana mereka memahami urutan peristiwa dan hubungan antar benda.

Begitu juga dengan ikan-ikan origami yang terlihat menyebar di sudut pameran, atau bingkai foto yang dihias dengan berbagai bahan alam. Setiap pilihan warna, bentuk dan tata letak mengungkapkan cara anak-anak melihat dunia – penuh warna, tidak terbatas oleh aturan dan sarat dengan imajinasi yang tak ada batasnya.

Salah satu lukisan yang menggambarkan kunjungan ke klinik membuat saya tersenyum, dalam gambar itu, dokter digambarkan dengan senyum lebar dan alat kesehatan yang dibuat dengan garis-garis yang tidak rata, namun penuh dengan ekspresi yang tulus.

Itulah bagaimana anak-anak mencatat dan menginterpretasikan pengalaman mereka.

Karya Sebagai Cermin Proses Belajar dan Karakter

Dari sudut pandang saya, karya anak bukan hanya hasil akhir dari pembelajaran, melainkan cermin dari seluruh proses yang mereka lalui. Ketika berbicara dengan beberapa orang tua yang sedang mengamati karya anak mereka, saya merasakan emosi yang tumpah ruah – dari keharuan hingga kebanggaan yang tak terbendung.

Satu ibu menceritakan bagaimana anaknya yang biasanya tidak banyak bicara di rumah justru dengan bangga menjelaskan cara membuat kerajinan yang dipajang, bahkan mengajaknya untuk membuat yang sama di rumah.

Itulah bukti bahwa karya anak mampu membangun kepercayaan diri dan kemampuan berkomunikasi.

Saya juga melihat bagaimana nilai-nilai karakter yang ditanamkan di sekolah tercermin dalam setiap karya. Anak-anak yang diajarkan tentang kebersihan membuat karya dengan bahan yang diatur rapi, sementara mereka yang belajar tentang kerja sama berkolaborasi untuk membuat karya kelompok seperti pohon cerita besar yang menjadi pusat perhatian.

Beberapa orang tua menyebutkan bahwa anak-anak mereka kini lebih mandiri di rumah – merapikan mainan sendiri, membersihkan tempat makan, atau bahkan membantu menyusun barang-barang kecil.

Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran yang terjadi di sekolah tidak hanya terbatas pada karya yang dihasilkan, tetapi juga meresap ke dalam kehidupan sehari-hari anak.

Salah satu hal yang paling menarik dari kegiatan ini adalah bagaimana karya anak menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai pihak.

Bagi guru, karya anak adalah bukti bahwa metode pembelajaran melalui bermain yang mereka terapkan efektif dalam mengembangkan potensi anak. Mereka tidak memaksakan anak untuk membuat karya sesuai dengan model tertentu, melainkan memberikan kebebasan untuk menggekspresikan diri, sehingga setiap karya memiliki ciri khas yang unik.

Dari pandangan pihak dinas pendidikan yang hadir, Pak Agus Risal, kegiatan seperti ini memiliki makna yang lebih luas. Ia menyampaikan bahwa pameran karya anak mampu mengubah persepsi masyarakat yang sering menganggap pendidikan PAUD hanya sekadar “tempat penitipan anak”. Karya yang dipamerkan menjadi bukti bahwa di balik permainan, anak-anak sedang belajar banyak hal – mulai dari mengenal warna dan angka, hingga membangun karakter dan kemampuan sosial.

Agus berharap bahwa praktik seperti ini dapat menjadi contoh bagi sekolah PAUD lainnya, sehingga orang tua dapat lebih memahami dan mendukung proses pendidikan anak usia dini.

Setelah menyaksikan seluruh rangkaian kegiatan, saya menyadari bahwa setiap karya anak adalah representasi kecil dari maha karya alam semesta – penuh dengan keajaiban, proses yang panjang, dan nilai yang tak ternilai.

Karya tersebut bukan hanya hasil dari tangan kecil yang masih belum terampil, melainkan buah dari pembelajaran, kreativitas, dan cinta yang diberikan oleh guru dan orang tua.

Pameran dan Bazar Karya Anak bukan hanya sebuah acara untuk menampilkan hasil kerja anak-anak, tetapi juga sebagai jendela yang membuka mata kita semua tentang betapa luar biasanya potensi yang ada di dalam setiap anak.

Melalui karya mereka, kita dapat melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda – dunia yang penuh dengan harapan, imajinasi dan kemungkinan yang tak terbatas. (*)