“Maka idealnya perumusan serta dilakukannya melalui amandemen UUD 1945 untuk memberikan kewenagan untuk menunda Pemilu itu secara atributif kepada MPR, tentunya harus dilakukan melalui sebuah proyeksi perubahan UUD 1945, tetapi tidak dimaksudkan untuk menampung serta mengakomodasi situasi politik kontemporer saat ini,” jelasnya.

Sebab, perkembangan dan dinamika hukum tata negara saat ini dengan alasan-alasan Penundaan Pemilu yang selama ini dilontarkan oleh pengusung ide ini sama sekali tidak berangkat dari dasar dan analisis yang konstruktif dengan mengedepankan ketaatan serta tertib melaksanakan perintah konstitusi, kemudian gagasan Penundaan berdasarkan deskripsi keadaan ekonomi bukan termasuk alasan yang “indispensable” untuk dilakukan amandemen. Aumsi ini dapat dikesampingkan, karena secara empirik Indonesia sangat sukses melaksanakan perhelatan pesta demokrasi lokal (Pilkada) ditengah pendemi pada tahun 2020. Dan secara teknis tidak ada hambatan yang signifikan untuk merealisir hajatan demokrasi itu, sepanjang mengenai usulan jalan keluar untuk mengantisipasi kebuntuan konstitusi jika terdapat keadaan “Staatsnoodrecht” atau setidak-tidaknya keadaan yang dapat dikualifisir sebagai “Overmacht atau Force Majeure”.
“Sehingga Pemilu tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya sebagaimana usulan dan pandangan Profesor Yusril Ihza Mahendra dengan melakukan amandemen terhadap UUD 1945 untuk menambah beberapa ayat pada kententuan pasal 22E. Ini merupakan jalan keluar yang sangat solutif, dan idelanya harus diatur dalam konstitusi yang dibuat berdasarkan proyeksi perubahan yang terukur dengan cara amandemen UUD 1945 melalui sidang umum MPR, tetapi bukan untuk keadaan saat ini. Hal itu dapat dilakukan pada saat anggota MPR yang baru produk Pemilu 2024, agar tingkat legitimasinya lebih kredible,“ katanya.

Diberitakan sebulnya, diskursus penundaan Pemilu diusulkan Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan diamini oleh Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan.