Apa yang dipaparkan Nisma, mendapat respon yang baik dari seluruh panelis. Kendati demikian, ia juga mendapatkan saran dan masukan agar inovasi dapat berjalan lebih baik lagi. Lukman Samboteng misalnya. Dosen Politeknik STIA LAN Makassar ini menyarakan agar inovasi perlu lebih disempurnakan lagi.

Misalnya menambahkan intervensi selain pijatan. Salah satunya, sebut dia, pemberian makanan dan susu.

“Yakinkan saya bahwa dengan pijat, berat badan bayi bisa naik. Nah, saya sarankan, masukkan juga pemberian makanan bergizi dan susu sebagai satu kesatuan dari meningkatnya berat badan bayi untuk mencegah stunting,” saran dia.

Sementara itu, inovator Kedai Bumil, Juinar, juga tampil meyakinkan. Tak kalah dengan Nisma, Juinar juga mampu memukau panelis dengan paparan inovasinya tersebut.

“Kedai Bumil ini adalah akronim dari Kelas Edukasi Ibu Hamil yang sudah kami terapkan sejak 2018 lalu,” kata Juinar mengawali pemaparannya.

Menurut Juinar, inovasi ini digagas karena adanya keinginan ibu hamil untuk melahirkan secara normal setelah pada persalinan sebelumnya melahirkan secara sesar. Yang menarik, rupanya inovasi ini mampu mengefisienkan anggaran BPJS ratusan juta.

“Inovasi ini juga dapat dengan mudah diterapkan di tempat lain karena tidak membutuhkan perlakukan khusus, tapi ada beberapa hal yang harus ditanamkan pada ibu hamil,” jelasnya.

Bagaimana tanggapan panelis? Salah seorang panelis dari Yayasan Bakti, Sumarni, mengapresiasi inovasi ini. Meski begitu, ia menyarankan inovator tidak terlalu menonjolkan kepentingan pemerintah, tetapi harus menonojkan kepentingan publik karena Kedai Bumil adalah inovasi pelayanan publik.

“Outcome-nya harus dibalik, lebih ke publiknya, karena ini adalah inovasi pelayanan publik. Jangan kepentingan pemerintahnya ditonjolkan. Tujuan inovasi ini sebenarnya bukan untuk menghemat anggaran, tetapi bagaimana menolong ibu hamil. Jadi, harus dibalik persepsinya,” imbuhnya.