Peringatan hari Hak Asasi Manusia Internasional adalah momentum tepat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah terkait kebijakannya dalam hal penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM di indonesia. Termasuk keberpihakan pemerintah terhadap kaum rentan seperti, Perempuan, anak, penyandang disabilitas, buruh, Masyarakat Adat dan kaum Minoritas.

Menurut Prof. Romli Atmasasmita, negara hukum demokratis itu digali dari tiga pilar yaitu penegakan hukum (rule of law), perlindungan HAM (enforcement of human right) termasuk penegakan hukum HAM-nya dan akses masyarakat untuk memperoleh keadilan (acces to justice).

Peristiwa penyerangan Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) yang menewaskan 31 pekerja di Nduga, Papua, 2 Desember 2018 lalu, apakah merupakan kejahatan melawan kemanusiaan (crime againts humanity) sebagai bagian dari serangan sistemik yang terarah pada penduduk sipil sebagaimana Pasal 9 Undang undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, atau bukan.

Bahkan sampai hari ini belum terungkap siapa aktor intelektual dibalik pembunuhan pejuang HAM Alm. Munir Said dan penyiraman air keras ke wajah Penyidik KPK Novel Baswedan.

Demikian pula kerusuhan massal di beberapa kota di Papua dan Papua Barat, seperti di Monokwari, Jayapura dan Wamena pada Senin, 23 September 2019 yang memakan korban bukan hanya dari masyarakat sipil tapi juga dari Pihak TNI Polri.

Kerusuhan ini dipicu isu rasisme sebelumnya terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang. Aksi unjukrasa mahasiswa se-Indonesia pada tanggal 24 September 2019 yang menolak pengesahan beberapa rancangan undang undang termasuk RKUHP dan revisi undang undang KPK. Dua mahasiswa meninggal tertembak di kendari dan siswa STM di Jakarta diduga meninggal akibat penganiayaan aparat kepolisian, demikian pula kekerasan aparat terhadap jurnalis. Semua berlalu tanpa proses hukum yang memadai dan adil bagi para korban, sehingga menambah deretan panjang dugaan pelanggaran HAM dan melemahkan semangat pemajuan HAM di Indonesia.