Uniknya, makanan itu seperti dikonglomerasi oleh para artis. Mengangkat nama baik mereka, mereka langsung menjual gambar makanan itu di akun sosmed mereka. Strategi marketing yang sangat menarik, bukan? Apalagi saat ini gambar yang diunggah di sosial media melaju dengan cepat, tersebar tanpa tahu arah, dan booming tanpa tahu jangkauan daerah (padahal bawa nama daerah). Strategi lain yang digunakan adalah dengan memotret jajanan tersebut sedemikian rupa dengan sangat-sangat menarik. Lalu, anak muda pun beranjak memiliki hasrat ingin memanjakan lidahnya, padahal tidak pernah mencoba, bahkan hanya sekadar memanjakan mata.

Masalahnya kemudian, mengapa anak muda cepat sekali terpengaruh dengan kehadiran dari jajanan ini? Apakah karena pengaruh sosial media, mereka menelan ludah saat melihat gambar-gambar jajanan yang menarik itu? Ini adalah sebuah pengaruh dari kemudahan geotagging oleh para user sosmed khususnya Instagram.

Jika kamu sudah mulai mengerti, maka jawabannya sebaiknya tidak terpengaruh dengan hal-hal itu. Jangan sampai, kue-kue jenis baru yang asal mulanya dari resep mancanegara akan menghilangkan kue-kue tradisional yang memiliki kekhasan sesuai dari daerahnya masing-masing. Budayakan oleh-oleh kota kamu yang memang memiliki sejarah di baliknya. Bukan mengandalkan kepopuleran sebagai kunci dari marketingnya.

Jika benar-benar ingin membawa pulang rasa Makassar ke rumah, saya sarankan untuk beli oleh-oleh khas Makassar. Kalau sekadar mencari oleh-oleh dengan label Makassar sih, silakan. Anda mau yang khas? Ya datanglah ke pasar-pasar tradisional.

Lalu, mari kita menawarkan dan menyajikan apa selayaknya dijual dan mempertahankan yang sepatutnya dipertahankan. Seperti nilai tradisi dalam jajanan oleh-oleh lokal.

Penulis : Widodo Wijaya Kusuma (Kader Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Makassar Komisariat ATIM