Lantas darimana munculnya produk-produk baru tanpa latar belakang sejarah berani menobatkan diri sebagai oleh-oleh khas daerah tertentu? Ironisnya lagi hampir semua produk ini merupakan makanan dengan resep dari mancanegara, pertanyaan kemudian di mana ciri khas sebuah produknya?

Menggandeng nama daerah di brand bisnis demi kepentingan meraup untung terlihat seperti langkah yang rakus. Apalagi beberapa di antaranya memberi label-label yang terasa menggiring. Misalnya “Jangan mengaku sudah ke kota A kalau belum beli kue jualan artis X” tagline tersebut memiliki kesan seolah mengancam? Padahal seberapa erat ikatan si artis dengan daerah tempat ia membuka bisnis saja kadang masih perlu dipertanyakan.

Seperti yang kita jumpai di kota Makassar, mengapa harus Makassar Baklave padahal sebelumnya tidak ada oleh-oleh khas Makassar yang namanya Baklave. Mengapa harus bosang makassar padahal tidak ada oleh-oleh Namanya bosang. Oleh-oleh yang ada di Makassar ya Coto Makassar, Pisang epe, Konro, Palubasa, atau bahkan Sop Sodara.

Pada dasarnya dibalik penamaan ada ciri khas yang ditampilkan, misalnya Coto Makassar yang menyajikan penikmatnya daging sapi atau kuda dan bumbu rempah-rempah yang khas. Coto Makassar diduga telah ada sejak Somba Opu (pusat Kerajaan Gowa) berjaya pada tahun 1538 hingga terhidangkan dalam bentuk warung-warung yang ada sekarang dibeberapa pinggiran jalan. Saya tahu persis kalau oleh-oleh tiap daerah itu punya khas-khas tersendiri. Tapi bagaimana dengan Makassar Baklave? Atau jenis oleh-oleh Makassar Bosang?

Baklave terinspirasi dari Baklava, seperti yang dilansir dari Wikipedia, yaitu sejenis makanan ringan di kawasan Turki dan daerah-daerah tempat mantan kekuasaan Kerajaan Ottoman. Makanan ini terdiri dari kacang walnut atau pistache yang dicincang dan diberi pemanis (gula atau madu) dan dibungkus adonan roti tipis.