Outcome yang ingin dicapai dengan menciptakan politik identitas dan polarisasi dalam masyarakat adalah beralihnya dukungan massa dari lawan politik menjadi basis massa yang militan, karena mereka sudah dihinggapi dengan kebencian terhadap tokoh yang sebelumnya mereka dukung.”

Menurut Serge Moscovici dan Marisa Zavalloni dalam Journal of Personality and Social Psychology mengatakan, menajamnya polarisasi sosial memang menjadi sasaran aksi-aksi massa sehingga diharapkan dapat menarik lebih banyak anggota masyarakat untuk “berpihak” pada aspirasi mereka.

Dalam artikel berjudul “Mencegah Polarisasi Politik Pasca-Pilpres 2019 Semakin Tajam” yang ditulis Whisnu Triwibowo (Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia) menyimpulkan, pertarungan yang belum selesai ini berlanjut pada Pilpres 2019 dan semakin diperparah dengan beberapa faktor: Perselisihan antara kedua kelompok ini berlanjut pada tataran legislatif dan eksekutif.

Partai-partai oposisi di parlemen yang dimotori oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang didirikan oleh Prabowo selalu mengkritik kebijakan pemerintahan Jokowi. Berbagai isu sosial, ekonomi, dan politik yang muncul dalam ranah publik atau media sosial selalu terbagi menjadi dua kubu tanpa adanya dialog publik.

Isu pembangunan jalan tol di Jawa, misalnya, menjadi isu partisan antara kedua kelompok. Perdebatan antara “tol milik Jokowi” dan “rakyat tidak makan infrastruktur” tidak bisa dihindari tanpa ada diskusi substantif terkait isu yang lain seperti tarif dan penggunaan fasilitas jalan tersebut. Politik partisan juga merembet ke pemilihan kepala daerah (Pilkada) seperti di DKI Jakarta. Kemenangan Anies Baswedan sebagai Gubernur Jakarta pada tahun 2017 diidentikkan dengan kemenangan kubu Prabowo.

Para ahli berpendapat kemenangan Anies disebabkan penggunaan politik populis yang juga dipakai Prabowo. Pendekatan menggunakan isu agama sebagai senjata terbukti ampuh untuk meraih kemenangan.
Pemanfaatan isu SARA dan Ormas keagamaan juga teridentifikasi telah dimanfaatkan sebagai komoditas politik mendeskreditkan “lawan”, sehingga legitimasi event Pilkada sebagai momentum pesta politik strategis nasional demi keberlangsungan estafet roda pemerintahan negara menjadi terancam. Sedangkan, Gerakan Indonesia Sholat Subuh (GISS) diskenariokan sebagai gerakan politik yang menghalalkan penggunaan politik identitas untuk meraih tujuan pragmatisme politik.”