Maka sebelum undang-undang ini di Paripurnakan dan dimasukan ke Lembaran Berita Negara (LBN) maka perlu adanya sosialisai lebih lanjut dan mendengarkan pendapat daripada aliansi-aliansi yang tergabung dalam lingkup negara demokrasi.

Dalam negara demokrasi masyarakat berhak mengetahui apa yang dikerjakan lembaga-lembaga pemerintah, serta memiliki hak untuk turut berpartisipasi dalam jalannya roda pemerintahan.

Seperti yang terjadi dalam penyusunan Omnibus Law, pemerintah justru menyampingkan aspirasi publik yang seharusnya dalam konstruksi negara hukum keterbukaan menjadi hal penting, itu yang membuat kami begitu sangat kecewa.

Karena dalam pengajian kami Aliansi Mahasiswa Hukum Indonesia (AMHI) ada begitu banyak sekali UU yang bertetangan serta merengut hak asasi manusia, seperti contoh menghapus cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan. Dalam UU ketenagakerjaan, aturan tersebut tercantum dalam pasal 93 huruf a.

Juga diusulkan dihapus izin atau cuti khusus menikah, menikahkan, menghitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan/keguguran kandungan, hingga adanya anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia (Huruf b) dan pada akhirnya hak buruh bagi perempuan semakin jauh dari mendapatkan hak kesehatan reproduksinya.

Untuk itu kami yang tergabung dalam ALIANSI MAHASISWA HUKUM INDONESIA (AMHI) Memberikan pernyataan sikap kami berisi tuntutan yaitu :

pertama, kami dari Aliansi Mahasiswa Hukum Indonesia menolak secara keseluruhan RUU Omnibus Law.

Kedua, kami dari Aliansi Mahasiswa Hukum Indonesia mendesak kepada DPR segera membahas dan membatalkan RUU Omnibus Law karena bertetangan dengan UUD 1945.

Ketiga, kami dari Aliansi Mahasiswa Hukum Indonesia meminta kepada Presiden segera angkat bicara dan menyatakan sikap membatalkan Omnibus law karna tidak pro terhadap rakyat.

Keempat, kami dari Aliansi Mahasiswa Hukum Indonesia menolak segala macam RUU yang tidak pro terhadap demokrasi. Penulis Abdul Ghofur.(*)