Jakarta, Rakyat News – Omnibus Law dalam pandangan hukum hanya dipakai dalam negara commonlaw bukan civil law, jadi tumpang tindih dalam pokok UU dan Omnibus Law akan terjadi/inkonsistensi UU, contoh pasal 33 ayat (3) dalam UUD tidak singkron dengan Permen SDM, maupun UU minerba sekakalipun, apalagi dimuat dalam Omnibus Law dalam satu payung hukum.

Demikian dikemukakan Muldiansyah kepada Redaksi di Jakarta saat dimintai komentarnya terkait Omnibus Law seraya menambahkan, memang benar Omnibus Law dapat mengatur sinkronisasi regulasi yang ada tetapi itu hanya berefek kepada kepentingan pemerinta agar segala adminstrasi ataupun legal standing daripada kebijakan dapat berjalan lancar tampa ada penolakan dari masyarakat atau OKP sekali pun,”

Karena membuat regulasi berguna bagi kelompok asing, maupun pengusaha dalam negeri di bidang industri, pendidikan, dan kesehatan maupun ketenaga kerjaan. “Terkait dengan upah minumun yang di dapatkan buruh menjadi sangat signifikan ataupun terorganisir dengan baik didalam Omnibus Law, tetapi yg menjadi pertanyaan terkait tidak adanya sistem kontrak yang di dapatkan oleh kelompok buruh untuk menjadi penjaminan bagi buruh untuk bertahan dalam pekerjaan, sehingga tidak ada karena perusahaan kapanpun bisa melakukan PHK, dan itu di dukung oleh hukum,” ujar Ketua Bidang Pengawasan Lembaga Negara Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia (ISMAHI, red) Jakarta Pusat ini

Menurut Muldiansyah, ketika pengerukan sumber daya alam terus terjadi eksploitasi secara berlebihan di darat maupun laut, keseimbanagan ekosistem maupun dalam keanekaragaman hayati tidak akan tercapai karena melihat daripada sisi pembangunan pengelolahan bumi air yang ada di Indonesia, tidak pernah dilakukan naturalisasi alam, malahan semakin diperbesar sektor eksploitasinya terhadap bumi dan laut Indonesia.

Sementara itu, Galuh Prasetio Pratama seharusnya bukan hanya klaster ketenagakerjaan saja yang ditunda pembahasannya. Melainkan semua pembahasan yang berkaitan dengan omnibus law harus di tunda terlebih dahulu.

“Terkhusus RUU Cipta Kerja, pemerintah harus menarik kembali draft tersebut dan melakukan kajian ulang secara komprehensif. Dan dalam proses kajian tersebut harus melibatkan dari berbagai kalangan seperti serikat buruh dan akademisi,” ujar Ketua DPP GMNI Bidang Organisasi periode 2018 s.d 2020 ini.
Menurut mantan DPC GMNI Semarang 2016-2018, RUU Cipta Kerja seharusnya tidak hanya mempertimbangkan aspek pertumbuhan ekonomi saja, tapi juga harus mempertimbangkan nilai – nilai keadilan dan kesejahteraan.

Dengan adanya RUU Cipta Kerja ini seharusnya memudahkan warga negara yang minim akses terhadap sumber daya ekonomi atau sumber daya alam. Bukan justru memudahkan para pemodal asing dalam rangka mengundang investor lebih banyak.

Menurut sasaran untuk situasi saat ini seharusnya pemerintah fokus terlebih dahulu terhadap penanganan Covid-19.
Menurut alumni Fakultas Hukum Undip ini, pihaknya akan terus menyuarakan itu aspirasi masyarakat, termasuk kampanye penolakan atas RUU Cipta Kerja, meskipun ditengah situasi yang seperti ini sasaran tetap menyuarakan aspirasi melalui media-media. “Harapan saya tentunya Pemerintah dapat mendengar dan memenuhi aspirasi semua,”pungkasnya (Red/Wijaya).(*)

Terbit : Jakarta, 31 Mei 2020.