“PPHN yang demikian ini tentunya serupa dengan GBHN pada UUD 1945 sebelum amandemen, kemudian penambahan satu ayat pada ketentuan pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN,” jelasnya.

Jika nantinya amendemen Pasal 3 disetujui dan menjadi materi muatan konstitusi, menurut Fahri Bachmid, maka secara hipotesis dapat ditanyakan kepada siapa nantinya presiden akan bertanggungjawab atas pelaksanaan PPHN itu,? dan apa konsekwensi konstitusional jika lembaga negara yang tidak dapat merealisir dokumen PPHN,? dapatkan lembaga lembaga negara itu dikatakan melakukan pelanggaran konstitusi,dan olehnya itu dapat diajukan impeachment kepada Mahkamah Konstitusi,? atau bagaimana mekanisme ketatanegaraan serta lembaga yang secara konstitusional diberikan atribusi kewenangan untuk mengevaluasi pelaksanaan PPHN itu,
apakah secara politik atau hukum,?

“Kalau secara politik berarti MPR sebagai lembaga yang mengeluarkan produk PPHN itu, dan jika demikian berarti menjadi anomali kerana kita telah kembali lagi mengadopsi sistem dengan prinsip supremasi MPR. Ini yang mestinya tidak terjadi,” kata Fahri Bachmid.

Ditambahkan Fahri, jika mekanisme pengawasan dan evaluasi harus diletakan secara hukum dengan melibatkan kekuasaan yudisial, maka Mahkamah Konstitusi yang paling dekat dengan pranata ini, sehingga implikasinya adalah amandemen tentunya tidak terelakan untuk menyasar pada bagian ini.

“Jika dianalisis secara lebih mendalam terkait hal itu, maka Potensi impeachment/pemakzulan dapat saja terjadi, jika kita merifer pada konstruksi norma Pasal 7A UUD 1945 saat ini. Hal ini menjadi penting karena jika ada lembaga negara termasuk presiden yang secara nyata tidak dapat menjalankan PPHN sebagaimana mestinya, dan oleh karena dokumen hukum PPHN adalah materi muatan UUD 1945, maka secara hukum presiden dapat dianggap tidak menjalankan sumpah jabatan presiden sesuai ketentuan pasal 9 UUD 1945,” katanya.