Saat dihubungi, Aktivis Papua Ambrosius Mulait menilai pemekaran daerah akan memberikan dampak buruk bagi masyarakat adat, atas hak tanah dan kekayaan. Pemekaran, terang dia, akan mendatangkan investasi besar-besaran yang berpotensi memarginalisasi pemilik ulayat.

“Justru adanya pemekaran akan memberikan akses investasi besar-besaran masuk Papua dan pemilik ulayat akan termarginalisasi, tersingkir dari tanahnya,” kata Ambrosius.
Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib menyatakan RUU tentang pembentukan provinsi baru di Papua merupakan keinginan pemerintah pusat atau ‘Jakarta’, bukan orang asli Papua (OAP).

Timotius menjelaskan pada rapat terbatas yang pernah diikutinya, Presiden Jokowi meminta para menteri sebelum melakukan evaluasi mengenai otonomi khusus, harus berkonsultasi dengan tokoh masyarakat Papua, baik tokoh adat maupun agama.

Namun, kata Timotius, konsultasi itu tidak dilakukan. Itu lah yang kemudian membuat pihaknya menilai pembentukan RUU DOB bukan keinginan orang asli Papua.

“RUU yang baru, tiga RUU ini yang saya pikir itu adalah keinginan Jakarta bukan keinginan orang asli Papua (OAP),” kata Timotius, Kamis (30/6).

Pendeta Sinode GKI Papua Dora Balubun menyatakan khawatir dengan DOB Papua. Sebab, pemekaran daerah selama ini cenderung memicu konflik di Papua.

Ia pun membeberkan contoh sejumlah daerah yang dimekarkan setelah Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) Jilid I pada 2001. Beberapa daerah itu di antaranya Intan Jaya, Nduga, Maybrat, Ilaga, dan Pegunungan Intan.

“Konflik hari ini di Papua, banyak justru sebenarnya paling besar dan sekarang ini begitu luas justru di daerah-daerah pemekaran itu,” kata Dora dalam diskusi daring, Senin (13/6).