JAKARTA – Pengesahan tiga Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pembentukan provinsi baru yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan menjadi Undang-undang (UU) pada Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (30/6) setelah seluruh fraksi di DPR menyatakan setuju terhadap hal tersebut yang sebelumnya telah disepakati di Komisi II DPR pada Selasa (28/6).

 

Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad mempertanyakan apakah pengesahan RUU tersebut dapat disetujui.

“Apakah RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU?,” ucapnya dilansir dari CNNIndonesia.com.

 

Namun dari situ membuat seluruh anggota DPR yang hadir sepakat dengan pengesahan RUU yang tengah dibahas.

Rapat Paripurna itu dihadiri oleh 37 anggota dewan secara fisik serta 167 anggota dewan secara virtual.

Kelancaran pembahasan RUU terkait pembentukan provinsi baru di Papua tak lepas dari peran Penjabat Gubernur Papua Barat, Komjen Pol (Purn) Paulus Waterpauw yang mengantar hasil deklarasi dukungan terhadap pembentukan DOB dan otonomi khusus Papua Jilid II dari 13 daerah ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Waterpauw mengaku deklarasi itu pun diberikan kepada Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua DPD, Menko Polhukam, Mendagri, Menkeu, Menkumham, Menteri PPN/Bappenas, dan Kepala Staf Kepresidenan.

“Isi deklarasi itu menegaskan kebulatan sikap Papua Barat dari tingkat pemimpin hingga masyarakat dari berbagai latar belakang yang sejatinya menginginkan pemekaran dalam bentuk DOB dan Otsus,” klaim Waterpauw.

Di sisi lain, warga setempat dan mahasiswa sering kali melakukan demonstrasi menentang pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua.

Satu hari sebelum Rapat Paripurna DPR diselenggarakan, ratusan massa aksi yang tergabung dalam Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Kabupaten Mimika (IPMAMI) menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR.

Saat dihubungi, Aktivis Papua Ambrosius Mulait menilai pemekaran daerah akan memberikan dampak buruk bagi masyarakat adat, atas hak tanah dan kekayaan. Pemekaran, terang dia, akan mendatangkan investasi besar-besaran yang berpotensi memarginalisasi pemilik ulayat.

“Justru adanya pemekaran akan memberikan akses investasi besar-besaran masuk Papua dan pemilik ulayat akan termarginalisasi, tersingkir dari tanahnya,” kata Ambrosius.
Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib menyatakan RUU tentang pembentukan provinsi baru di Papua merupakan keinginan pemerintah pusat atau ‘Jakarta’, bukan orang asli Papua (OAP).

Timotius menjelaskan pada rapat terbatas yang pernah diikutinya, Presiden Jokowi meminta para menteri sebelum melakukan evaluasi mengenai otonomi khusus, harus berkonsultasi dengan tokoh masyarakat Papua, baik tokoh adat maupun agama.

Namun, kata Timotius, konsultasi itu tidak dilakukan. Itu lah yang kemudian membuat pihaknya menilai pembentukan RUU DOB bukan keinginan orang asli Papua.

“RUU yang baru, tiga RUU ini yang saya pikir itu adalah keinginan Jakarta bukan keinginan orang asli Papua (OAP),” kata Timotius, Kamis (30/6).

Pendeta Sinode GKI Papua Dora Balubun menyatakan khawatir dengan DOB Papua. Sebab, pemekaran daerah selama ini cenderung memicu konflik di Papua.

Ia pun membeberkan contoh sejumlah daerah yang dimekarkan setelah Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) Jilid I pada 2001. Beberapa daerah itu di antaranya Intan Jaya, Nduga, Maybrat, Ilaga, dan Pegunungan Intan.

“Konflik hari ini di Papua, banyak justru sebenarnya paling besar dan sekarang ini begitu luas justru di daerah-daerah pemekaran itu,” kata Dora dalam diskusi daring, Senin (13/6).