RAKYAT.NEWS, JAKARTA – Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Saldi Isra, menyoroti asas jujur dan adil dalam pelaksanaan Pilpres 2024. Menurutnya, pemilihan kali ini bisa saja sudah berdasarkan mekanisme dan prosedur. Namun, belum menjamin berjalan jujur.

“Pemilu di masa Orde Baru pun berjalan memenuhi standar mekanisme yang ditentukan dalam UU Pemilu saat itu. Namun, secara empirik, Pemilu Orba tetap dinilai curang,” kata Saldi saat membacakan dissenting opinion-nya di gedung MK, Jakarta, Senin (22/4/2024), mengutip CNNIndonesia.com.

Saldi merupakan salah satu dari tiga hakim yang dissenting opinion atau memiliki pendapat berbeda terhadap putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 yang diajukan Anies-Muhaimin (AMIN).

Saldi menyebut pemilu seharusnya melampaui batas keadilan prosedural. Namun, juga secara substantif.

Pada era orba, kata Saldi, pelaksanaan pemilu berjalan tidak adil (fair). Salah satunya karena faktor pemihakan pemerintah kepada salah satu kontestan pemilu.

Oleh karena itu, asas jujur dan adil dalam norma Pasal 22E ayat 1 UUD 1945 menghendaki sebuah keadilan dan kejujuran pemilu yang lebih materiil. Pasal itu adalah buah dari perubahan atau amendemen UUD 1945 pascareformasi 1998 atau setelah Orde Baru jatuh.

“Jujur dan, maksud yang dikehendaki bukan hanya sekadar sikap patuh pada aturan, melainkan sikap tidak berlaku curang,” ujar Saldi membacakan dissenting opinion-nya.

Pada hari ini, MK menolak permohonan atas perkara yang dimohonkan Paslon Nomor Urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN). Putusan itu dibacakan Ketua MK Suhartoyo.

“Dalam pokok permohonan, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Suhartoyo membacakan amar putusan.

Selain itu, Suhartoyo menyatakan Mahkamah juga menolak eksepsi termohon dan pihak terkait untuk seluruhnya.

Suhartoyo menyebut terdapat dissenting opinion dari tiga hakim konstitusi dalam perkara ini. Tiga hakim konstitusi yang dissenting opinion itu adalah Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih.