Dalam babak sejarah Indonesia yang baru, kata Anis, diperlukan satu arah. Arah baru tersebut akan mengajak kepada satu cita-cita dan satu imajinasi. Di tengah krisis global saat ini, menurutnya, ada dua celah, yaitu menjadi korban dan mendapatkan manfaat.

“Jadi, sudah saatnya kita membuat terjemahan baru yang lebih imajiner terhadap makna konstitusi kita. Makna (politik luar negeri) bebas aktif, tapi kita juga harus ikut dalam pelaksanakan ketertiban dunia. Ini maksudnya menjadi kekuatan kelima dunia,” demikian kata Anis.

Perang supremasi ini, ungkap Anis Matta,  akan melahirkan kepemimpian baru dan aturan global baru ke depan. Sehingga Indonesia harus memahami filosofi dari perang supremasi antara AS-China.

“Sebaiknya kita mesti paham dari filosofinya, kalau kita tidak duduk di meja makan, kita tidak akan pernah ikut makan,” kata Anis Matta.

Diskusi ini dihadiri Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana, Pengamat Militer dan Pertahanan Keamanan Connie Rahakundini Bakrie, serta mantan Kepala BAIS TNI Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto.

Hikmahanto Juwana mengatakan, AS ingin mengamankan kepentinganya di Indo-Pasifik agar tidak didominasi. AS, kata dia, tidak ingin melihat Indonesia jatuh ke tangan China.

“Amerika Serikat akan mendekati negara-negara mana saja yang berhadapan dengan China, termasuk Indonesia. Kita akan mendapatkan banyak tawaran, dan tawaran itu bisa diambil sepanjang untuk kepentingan nasional kita,” kata Hikmahanto.

Sedangkan Connie Rahakundini Bakrie menilai perang di LCS bisa saja terjadi. Namun bahaya sebenarnya, adalah upaya pembukaan paksa Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) di Timur dan Barat oleh AUKUS (Amerika Serikat, Inggris dan Australia).

“Kalau ALKI Timur Barat dibuka, maka seolah-olah tamu yang melintas rumah kita, kita tidak punya kemampuan dan ketegasan menjaga martabat kepentingan kita,” kata Connie