Dia mengungkapkan, kondisi tersebut juga melanggar Pasal 92 ayat 2 UU No. 6 Tahun 2023, yang mana pelakunya dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.

“Karena itu, sosialisasi ini penting untuk memberikan pemahaman, termasuk sanksi yang akan dihadapi oleh para pelanggar,” ungkap Junan.

Menurutnya, PT Vale telah mematuhi perundang-undangan yang berlaku.Untuk itu, pihaknya berharap, sosialisasi ini bisa memberikan solusi untuk penyelesaian masalah yang terjadi saat ini.

“Dan semua unsur bisa mendapatkan asas manfaat dengan melihat kondisi hukum yang ada,” ujarnya.

Kepala Desa Loeha, Hamka Tandioga turut memberi masukan agar sosialisasi ini dilakukan di Desa Loeha. Sebab, 80 persen lahan eksplorasi yang ditanami merica itu berada di sana.

“Agar sosialisasinya tepat sasaran. Itu juga harapan dari Aliansi Petani Lada Loeha Raya yang tidak sempat hadir,” tuturnya.

Meski kesempatan sosialisasi ini tidak dilakukan tepat di desanya, Hamka menilai, sosialiasi dapat memberikan pemahaman terkait aspek hukum yang belum begitu dalam diketahui masyarakat.

“Kami (aparatur desa) akan membantu menyosialisasikan ini ke masyarakat. Tetapi PT Vale juga harus memperhatikan persoalan lahan merica milik warga itu,” ujarnya.

Sementara, Director External Relations PT Vale Endra Kusuma mengatakan, sosialisasi serupa terus dilakukan melalui beragam pendekatan.

Saat ini, kata dia, Tim IGP Tanamalia sedang mengusahakan agar tidak terjadi penambahan perambahan hutan milik perusahaan.

“Perseroan butuh dukungan pemerintah, pihak regulator, dan masyarakat untuk sama-sama mencari solusi atas persoalan tersebut. Sejak November 2022 kami intens melakukan sosialisasi dan edukasi di dua desa terdampak langsung aktivitas eksplorasi, yakni Desa Loeha, dan Rante Angin,” ungkapnya.

Untuk menegaskan kehadiran PT Vale di lahan IPPKH, Tim IGP Tanamalia telah melakukan berbagai upaya mulai dari memasang papan bicara agar perambahan hutan disetop dan membangun beberapa pos pengamanan terpadu.