Dia menjelaskan, dalam manajemen stok pihaknya juga membangun kerja sama dengan Kelompok Tani Mitra Direktorat Jenderal Hortikul­tura (Champion) yang akan memasok hasil produksi cabe sesuai harga wajar pemerintah. Kerjasama dengan Champion dibiayai APBN. Mereka antara lain berlokasi di Magelang, Temanggung, Cianjur, Bandung, Garut, Lombok Timur, Sumedang, dan Tasikmalaya.

“Kami melakukan kesepakatan harga jual cabe. Jadi walaupun nanti harga naik, Champion akan mengendali­kan,” ungkapnya.

Spudnik yakin dengan kerja sama itu, ketersediaan stok cabe juga dapat dengan mudah diatur. Karena, pengaturan dilakukan dari waktu tanam, panen dan penjualan.

Untuk jangka panjang, Kemen­tan menyiapkan beberapa instru­men. Pertama, mengembangkan daerah penyangga atau buffer zone produksi cabe di sejumlah wilayah di luar Jawa guna me­nyeimbangkan distribusi.

Selama ini sentra produksi cabe hanya berada Jawa, yakni Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur. Daerah lain yang memasok cabe adalah Bali serta Nusa Tenggara Barat (NTB). Akibatnya, daerah lain sangat menggantungkan pasokan cabe dari wilayah-wilayah tersebut. “Dengan adanya buffer zone tersebut nantinya kebutuhan cabe di daerah seperti Kalimatan, Sulawesi dan Sumatera bisa dipasok dari daerah mereka sendiri,” tuturnya.

Kedua, program 10 juta tanam pohon cabe di lahan pekarangan. Kementan akan membagikan secara gratis bibit cabe untuk ditanam di rumah melalui gerakan ibu-ibu Pem­bina Kesejahteraan Keluarga (PKK). Kampanye tanam cabe di rumah didorong agar tak lagi ribut-ribut saat harga cabe naik. Ketiga, meminta pemerintah daerah menyiapkan anggaran khusus untuk mengembangkan komoditas cabe.

Spudnik optimistis harga cabe akan turun mulai Februari. Karena di bulan ini merupakan waktu masa panen serentak di seluruh wilayah. Selain itu, cuaca juga mulai bersahabat.