“Yang diperlukan adalah proses penegakan hukum yang  transparan dan tuntas. Penjelasan yang obyektif akan mampu meredakan kecurigaan, kemarahan dan ketidakpercayaan di masyarakat. Kita semua  berkepentingan menjaga kepercayaan publik kepada institusi kepolisian dan mencegah orang untuk melakukan tindakan yang tidak legal,” katanya.

Anis Matta berharap Polri, MUI dan Kriminolog bisa duduk bersama mencari motif terhadap kekerasan para pemuka agama, meskipun pada akhirnya ditemukan fakta-fakta aneh seperti kasus di Tangerang yang bermotif dendam dan perselingkuhan.

“Tetapi yang lebih penting adalah mencegah nyawa tidak hilang, meski ketika bicara motif akan menemukan fakta-fakta aneh. Kita harus bersama-sama mencegah agar situasi ini tidak menimbulkan amuk dan hukum jalanan. Kepolisian, MUI dan akademisi perlu mengkaji lebih mendalam bagaimana mencegah kasus serupa tidak terulang kembali,” ujarnya.

Senada dengan Anis Matta, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhyiddin Junaidi mengatakan, respons pemerintah terhadap maraknya kekerasan dan pembunuhan terhadap ulama masih kurang memuaskan.

“Hampir semua pelaku kekerasan terhadap ulama dinyatakan orang dalam gangguan jiwa (ODGJ) dan berhenti hanya sampai pada tahap pemeriksaan polisi, jarang yang sampai ke pengadilan,” kaya Muhyiddin.

Kondisi seperti inilah yang membuat ketidakpuasan masyarakat, sehingga penafsiran masyarakat beragam, termasuk dikait-kaitkan dengan PKI.

“Apalagi kekerasan yang menimpa ulama itu terjadi di bulan September yang secara historis memang memiliki keterkaitan antara tragedi para ulama yang diakibatkan oleh kekejaman PKI,” tuturnya.

Kriminolog dan Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan tidak semua ODGJ tidak bisa dipidanakan.

Mengacu pada Pasal 44 ayat 2 KUHP, ODGJ sebenarnya bisa juga diproses hingga pengadilan.

“Nanti bisa saja hakim memutuskan bahwa ODGJ ini harus disembuhkan alias di bawa ke Rumah Sakit Jiwa. Jadi tidak hanya berhenti prosesnya di kepolisian,” kata Reza.