RAKYAT.NEWS, NUNUKAN – Nabi Muhammad akan selalu menjadi representasi sebagai “Insan Kamil” atau manusia sempurna, yang dalam filsafat Islam berarti sosok yang telah mencapai puncak realisasi spiritual dan kesempurnaan moral.

Al-Farabi, salah satu filsuf besar dalam tradisi Islam, menggambarkan sosok ideal ini sebagai seseorang yang tidak hanya memahami realitas fisik tetapi juga memiliki pengetahuan tentang realitas metafisik yang lebih tinggi.

Melalui Nabi Muhammad, umat Islam diperkenalkan pada konsep bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara, dan bahwa tujuan akhir manusia adalah mencapai kebahagiaan abadi di sisi Tuhan.

Dalam konteks ini, Maulid Nabi dapat dilihat sebagai momen refleksi spiritual, di mana umat Muslim diingatkan akan tujuan hidup yang lebih tinggi dan transenden. Kehidupan Nabi Muhammad, meskipun dijalani dalam dunia material, selalu terhubung dengan dimensi spiritual yang lebih tinggi, baik dalam tindakan sehari-harinya maupun dalam ajaran-ajaran yang Rasulullah sampaikan. Dengan arti lain, ini merupakan kecenderungan sosial dari dimensi spiritual.

Kecenderungan sosial yang dimiliki manusia salah satu nilai yang teraktual dari dimensi spiritual. Maka ini pula merupakan salah satu tolak ukur manusia untuk meletakkan nilai ‘Hablum minannas wa hablum minallah’. Yaitu kesungguhan menjalin hubungan sesama manusia dan menjadi hamba Allah.

Melalui Nabi Muhammad yang diingat dalam setiap perayaan Maulid adalah pesan cinta kasih dan persaudaraan antar sesama manusia. Atau dalam bahasa sosial bagaimana satu individu saling membangun dalam sistem masyarakat.

Mukaddimah di atas merupakan pendekatan untuk melihat bagaimana maulid dijadikan sebagai satu momentum refleksi spiritual untuk menciptakan tatanan masyarakat Nunukan. Sejatinya setiap masyarakat Nunukan mesti menghadirkan perenungan. Perenungan ditujukan untuk merefleksikan diri untuk hidup bermasyarakat.