Hal senada juga diungkapkan oleh istri PJ Gubernur Papua Pegunungan, Ibu Herwin Meiliantina Wanggai yang berkesempatan hadir. Sambil menunjukkan sesuatu yang tergantung dibelakang kepalanya, “saya sengaja mengenakan ini yang namanya noken agar dikenal orang sebagai warisan budaya Papua. Saya belajar dari ibu Sri yang dimana-mana selalu memperkenalkan pakaian dan ikon Papua.”

Sementara Bahlil Lahadalia, suami Sri Suparni, yang datang dipertengahan acara ikut didaulat oleh MC memberikan testimoni. “Terus terang baru tadi pagi saya baca buku ini. Yah bagus. Saya mengapresiasi upaya penulisnya. Selamat ya,” ujar Bahlil singkat.

Perempuan Jawa yang kuliah dan meniti karir di Papua ini berbagi pengalaman pribadinya sebagai sosok aktivis perempuan, wirausahawati, istri dari seorang menteri di Kabinet Indonesia Maju yang yang dipetik dari situasi sulit.

Ia ingin agar tiap perempuan tak banyak mengeluh, gampang menyerah atau berpasrah diri, meski berada atau ditugaskan di tempat yang tak diinginkan. Buku yang dieditori oleh Ady Suriadi dan Rusman Madjulekka itu juga membahas kisah hidup seorang Sri Suparni yang berawal dari desa ditepi sungai Bengawan Solo, di pelosok kabupatan Sragen, Jawa Tengah.

“Poin pesannya dimanapun kita berada di tempat yang menurut kita tidak enak, jauh misalnya di Papua, atau secara ekonomi tidak menguntungkan bagi kita, jangan kecewa dulu. Karena tidak ada proses yang sia-sia,” lanjutnya.

Sri menambahkan, jika buku ini ditulis bukan bermaksud memamerkan kehidupan pribadinya dan menunjukkan jika dirinya yang terbaik. Melalui buku ini, istri Bahlil Lahadalia ingin agar kaum perempuan menjadi pribadi yang tangguh dan bisa mengambil hikmah dari setiap iktiar dan langkah yang dijalaninya.

Dalam buku ini, turut membahas pengalaman organisasi, aksi-aksi sosial kemanusisaan, dan pemberdayaan UMKM. Buku ini ditujukan terutama untuk adik-adik perempuan dan generasi milenial yang baru meniti karir.