RAKYAT NEWS, JAKARTA – Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi, menyatakan bahwa peternak sapi perah rakyat di Indonesia mengalami kesulitan karena tidak mampu bersaing di pasar domestik akibat adanya perjanjian perdagangan bebas dengan Selandia Baru dan Australia.

Menurutnya, perjanjian perdagangan bebas dengan kedua negara tersebut menyebabkan produk susu impor dari mereka bebas bea masuk, sehingga harganya lebih murah 5% dibandingkan produk susu dari negara lain.

Selain faktor harga, hubungan dekat Indonesia dengan Selandia Baru dan Australia juga membuat harga produk susu mereka sangat kompetitif.

“Selandia Baru dan Australia memanfaatkan Perjanjian Perdagangan Bebas dengan Indonesia, yang menghapuskan bea masuk pada produk susu. Sehingga membuat harga produk mereka setidaknya 5% lebih rendah dibandingkan dengan harga pengekspor produk susu global lainnya,” kata Budi dalam konferensi pers di kantornya, Senin (11/11/2024).

Para Industri Pengolahan Susu (IPS) lebih memilih mengimpor susu bubuk daripada susu segar dari peternak lokal, yang menyebabkan harga susu segar di tingkat peternak turun menjadi sekitar Rp7.000 per liter, padahal seharusnya mencapai Rp9.000 per liter.

“Padahal susu skim secara kualitas jauh di bawah susu sapi segar, karena sudah melalui berbagai macam proses pemanasan (ultra proses),” ujarnya.

Kondisi ini membuat peternak sapi perah lokal mengalami kerugian karena rendahnya permintaan pasar terhadap susu segar.

Kemenkop akan berkoordinasi dengan Kemendag untuk mengevaluasi regulasi impor susu dan memastikan produksi peternak lokal dan koperasi susu bisa diserap dengan baik oleh IPS.

“Kemenkop akan berkoordinasi dengan koperasi susu dan IPS untuk menjamin penyerapan produksi,” ucap dia.

Wamenkop, Ferry Jualiantono, menilai tarif bea masuk untuk susu perlu dikaji ulang, karena tarif 0% untuk susu skim dari Selandia Baru dan Australia berdampak pada pasar susu segar dalam negeri.

“Sebaiknya tarif bea masuk itu juga harus diperhitungkan dampak dari pengenaan kebijakan tarif. Harusnya Kementerian Perdagangan juga kalau diberikan bea masuknya 0%, akibatnya seperti itu. Pemerintah harus mengkaji ulang penerapan bea masuk itu, kalau bisa jangan 0%,” kata Ferry.

Ferry yakin Indonesia bisa memperjuangkan pengkajian tarif bea masuk dalam organisasi perdagangan dunia, WTO.

“Ini kan bisa dimintakan kembali, bisa diperjuangkan di perundingan WTO. Bisa! Misalkan, kepada WTO bahwa dalam rangka untuk melindungi peternak sapi perah di Indonesia, kami minta ada barrier,” terang dia.

Jika WTO tidak bisa memenuhi permintaan Indonesia terkait tarif bea masuk untuk susu, pemerintah harus memberikan insentif kepada peternak sapi perah rakyat agar bisa bersaing dengan susu skim impor.

“Kalau memang mau tetap 0% (tarif bea masuknya), berarti harus ada insentif untuk peternak sapi perahnya,” tutup Ferry.

YouTube player