Ups…mas menteri terkejut bercampur surprise. Barusan ia mengusulkan sudah ada proposalnya. Ia tak menyangka idenya direspon begitu cepat. Apalagi para koleganya sesama aktivis saat di AMPI dulu memaknai kata “kita” mas menteri sebagai kami, atau saya dan anda secara bersama-sama.

“Kami sengaja mengajak mas menteri ikut bersama mewujudkan impian itu. Kalau bukan mas menteri yang bantu siapa lagi?” kata mereka dengan wajah saromase. Istilah bahasa Bugis pandai mengambil hati orang lain.

Diam-diam Wamen Dzulfikar juga menyimpan kenangan unik “mengolah kata” ala warkop saat itu bernama Phoenam yang masih berlokasi di tempat yang lama. Masih di Jalan Wahid Hasyim. Samping kantor bank BCA. Ketika itu pertama kali ia injak warkop Phoenam Jakarta karena diajak Indar “Daeng Beta” Parawansa, almarhum suami Gubernur Jatim Khofifah.

“Kalau kita dipanggil kanda atau dinda, masih aman. Tapi kapan sudah disapa “Bosku” maka waspada (tagihan bill membengkak,red),” kelakarnya memecah riuh tawa pengunjung hari itu.

“Phoenampungan” merupakan penggabungan kata phoenam dan tampung. Merujuk makna tempat penampungan. Sengaja memakai ejaan “Phoenam” sekedar mengingatkan kembali kenangan warkop Phoenam sebelumnya di lokasi yang sama.

Menampung siapa? “Siapa saja yang transit. Disela-sela waktu urusan kerjaan dan bisnis, atau saudara kita dari Makassar yang berkunjung ke Jakarta,” kata Abdul Razak “Acha” Said, salahseorang inisiator dan owner warkop itu. Bahkan karena transit, lanjutnya, sudah terpikirkan untuk menyiapkan fasilitas tempat penitipan barang bagi mobilitas tamu pengunjungnya.

“Manajemen tata kelola warkop harus terjaga. Perbanyak menu tradisional. Dan sekaligus menjadi perekat warga diaspora Makassar di Jabodetabek,” saran Awaluddin, alumni Kelautan Unhas yang juga pelanggan lama Phoenam.

Nama “Phoenampungan” dipilih, menurut Acha, agar terasa welcome untuk siapa saja yang ada hubungan darah dengan Makassar atau Sulsel. Termasuk yang bersuami/beristri dari daerah yang sering dijuluki “negeri para pemberani” itu.