Penulis: Rusman Madjulekka

ADA warung kopi. Selain tempat seruput kopi dan mengolah biji-biji kopi, juga ruang “mengolah” kata. Sesuai dengan mottonya: “Mengolah seperlunya, minum kopi secukupnya, bersahabat selamanya.” Tulisannya cukup besar di pojok dinding dekat pintu masuk.

“Terus terang saya termasuk salahsatu korban mengolah kata-kata,” ungkap mas menteri Dito Ariotedjo tersenyum disambut riuh tawa pengunjung warkop saat memberikan sambutan launching openingnya, minggu (1/12) pagi.

Hadir juga Dzulfikar Ahmadi Tawalla, Wamen Perlindungan PMI, Sekjen Partai Golkar Sarmudji, anggota DPR Dhave Laksono, Nurdin Halid, anggota DPD Waris Halid, anggota DPR periode lalu Supriansa, Ustadz Das’ad Latif, Jubir JK Husain “Uceng” Abdullah, Ketua Gapensi A.Rukman Nurdin dan tamu lainnya.

Nama warung kopi itu: Phoenampungan. Lokasinya di pusat kota Jakarta. Jalan Wahid Hasyim dibagian timur, tak jauh dari bundaran Tugu Tani. Dari stasiun kereta komuter Gondangdia Menteng, saya jalan kaki 10 menit nyampe.

Dito menceritakan, suatu ketika sebulan sebelum pelantikan kabinet merah putih dirinya bertemu dengan sejumlah mantan aktivis mahasiswa dan pergerakan asal Makassar di sebuah café di Menteng Jakarta.

“Kalian gak nongkrong di Phoenam lagi”?” tanya mas menteri.

Phoenam adalah nama warkop legendaris asal Makassar di jalan Wahid Hasyim. Warga perantau atau diaspora asal Makassar dan Sulawesi Selatan di Jakarta sudah familiar dengan warkop cita rasa kopi dan roti kaya yang khas.

“Sudah tutup” jawab Risman Pasigai yang lagi bersama Abdul Razak “Acha” Said dan kawan-kawan.

“Gimana kalau kita buka kembali?” usul mas menteri spontan. Dito orang Jawa beristri orang Makassar. Mertuanya anda sudah tahu pemilik travel haji dan umroh Maktour.

Ibarat gayung bersambut. Tanpa basa-basi Risman dkk langsung menyodorkan proposal proses akuisisi yang sebenarnya sudah lama mereka rencanakan. Termasuk biaya sewa tempat lima tahun. Hanya terkendala dana.