Amran diam sejenak. Raut wajahnya berubah seakan memikirkan sesuatu. Tiba-tiba ia teringat istilah anak-anak ”breaker” saat dirinya remaja era 80-an di kampungnya di Bone, pelosok Sulawesi Selatan.

Agar bisa berkomunikasi dalam frekuensi yang sama, masing-masing lawan kontak bicara harus kompromi: disana “turun satu” dan disini “naik satu”.

Setelah mendengar dan menganalisa keinginan kedua pihak, Amran menempuh “jalan tengah”. Ia kemudian memutuskan harga singkong dipatok Rp 1.350 per kg. Tok. Keputusan ini berlaku secara nasional mulai, Jumat (31/1/2025).

Sontak petani bersorak. “Turun Rp 50 tak mengapa yang penting bisa diserap,” teriak mereka. Pihak pengusaha juga menerima. Tapi mereka ajukan syarat tambahan: pemerintah harus menyetop impor tapioka. Saat itu juga Amran langsung mengontak koleganya Menteri Perdagangan Budi Santoso. “Mendag sudah setuju stop impor tapioka,” kata Amran.

Tak lupa Amran mengingatkan bahwa keputusan ini harus dijalankan oleh semua pihak, baik petani maupun industri. Jika ada industri yang melanggar kesepakatan maka dikenakan sanksi tegas.

“Kalau ada industri yang melarang harga ini, kami akan beri sanksi. Jangan main-main! Saya bapaknya petani dan industri singkong. Jangan ada yang melanggar komitmen. Industri harus untung, petani harus tersenyum,” ujarnya.

Negeri Singkong

Singkong boleh dibilang komoditas hajat hidup orang banyak di Lampung dan daerah lainnya di Indonesia. Bahkan sejak dulu, Indonesia dikenal sebagai salahsatu negara penghasil singkong terbesar di dunia.

Berlimpahnya produksi singkong di Nusantara, memicu kreativitas masyarakat untuk mengolahnya. Salah satunya menjadi kerupuk.

Dalam catatan Sejarah, singkong atau yang disebut juga sebagai ketela dikenalkan pertama kali oleh bangsa Portugis pada sekitar abad ke-15 dan 16. Meski umbi-umbian yang satu ini sejatinya berasal dari wilayah Amerka Selatan.