Meneropong Masa Depan Sidrap, Menunggu atau Membentuk?
Pilar keempat, kepemimpinan transformasional dan partisipatif. Sidrap membutuhkan pemimpin yang:Visioner dan tidak hanya berorientasi pada periode jabatan, Membangun partisipasi masyarakat bukan dominasi elit, Mengedepankan etika publik dan keberanian membuat keputusan strategis meskipun tidak populis seperti tindakan berani kepala daerah terhadap praktik-praktik 4S.
Spirit Nene’ Mallomo dan Menyatukan Narasi
Tokoh legendaris Nene’ Mallomo meninggalkan pesan yang sangat dalam “Resopa natemmangingngi namalomo naletei pammase dewata.”
Pesan ini harus dijadikan etos pembangunan keberlanjutan. Artinya, membentuk masa depan bukan hanya tentang teknologi atau infrastruktur. Tumpuannya pada warisan nilai, komitmen, dan integritas. Tinggal bagaimana warisan tersebut dijadikan fondasi untuk membentuk masa depan yang lebih hijau, adil, dan manusiawi.
Membentuk masa depan bukanlah kerja satu orang atau satu lembaga. Ia adalah kerja kolaboratif. Pemerintah daerah, perguruan tinggi, dunia usaha, pesantren, tokoh adat, dan masyarakat sipil harus bersatu.
Pembangunan yang hanya berorientasi pada proyek akan cepat lapuk. Tapi pembangunan yang berbasis narasi bersama akan langgeng. Maka perlu disusun “Narasi Besar Sidrap Masa Depan” yang dijadikan acuan lintas sektor yang mengedepankan keadilan generasi, menyatukan tradisi dan inovasi dan menjadikan keberlanjutan sebagai misi utama.
Apa yang terjadi di Sidrap hari ini, adalah cermin dari pilihan kolektif masyarakatnya. Apakah memilih untuk menunggu dan bersikap reaktif, ataukah memilih untuk membentuk dan menjadi pelaku sejarah?
Masa depan tidak datang sebagai hadiah. Ia datang sebagai hasil dari keberanian, kerja keras, dan imajinasi. Sidrap memiliki semua potensi sumber daya alam, modal sosial, nilai religius, dan semangat kearifan lokal.
Tugas bersama adalah memastikan bahwa semuanya diarahkan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Masa depan Sidrap bukan untuk ditunggu, tapi untuk dibentuk.

Tinggalkan Balasan