RAKYAT NEWS, JAKARTA – Mengejutkan. Seorang ketua partai pemenang Pemilu di Sulawesi Selatan (Sulsel) dikabarkan pindah ke partai PSI, pekan lalu. Ia adalah Rusdi Masse Mapasessu atau biasa dipanggil dengan akronim RMS.
Meski fenomena pindah partai itu hal biasa dalam pentas politik Indonesia, namun yang satu ini “agak laen” – meminjam judul film yang populer dan merajai deretan film box office di tanah air.
Agak laen dan “mengejutkan” yang saya maksud karena fenomena itu terjadi saat kondisi partai Nasdem yang dipimpinnya lagi bagus-bagusnya. Bahkan sukses sebagai pemenang dan mencetak prestasi. Tidak ada tanda-tanda yang mencolok.
Di era kepemimpinan mantan Bupati Sidrap, Sulsel dua periode dari 2008 hingga 2018 ini partai Nasdem justru “mengukir sejarah” dengan memutus trend kemenangan dan mematahkan dominasi Partai Golkar selama ini. Yang mana di zaman orde baru Sulsel dikenal salahatu “lumbung suara” partai berlambang beringin di Indonesia.
Sebelum RMS memimpin, Nasdem hanya punya tujuh wakil di DPRD Sulsel. Pemilu 2019, jumlah kursi bertambah jadi sebelas sekaligus dapat jatah wakil ketua. Di Pemilu 2024, sukses meraih 17 kursi mengantarkan kadernya duduk diposisi Ketua DPRD Provinsi Sulsel. Begitu juga kadernya yang lain berhasil jadi Ketua DPRD Kota Makassar dan unsur pimpinan di parlemen kabupaten/kota lainnya.
Raihan partai besutan Surya Paloh di daerah yang menjadi barometer politik di Indonesia Timur ini tidak terlepas dari strategi dan tangan dingin RMS sebagai Ketua DPW Nasdem Sulsel. Ia menjabat sejak 2016 dan mampu mengubah peta perpolitikan di “negeri para pemberani”, sebutan lain bagi Sulsel yang pernah digaungkan sendiri oleh Bang Surya.
Tidak hanya itu, ditangan RMS Nasdem mampu menarik perhatian dan dukungan luas dari berbagai kalangan, terutama tokoh-tokoh politik lokal berpengaruh. Tidak terkecuali para pemilih yang sebelumnya setia pada partai lain.
Dengan gaya kepemimpinan RMS yang terbuka dan transparan, kerja-kerja mesin partai berjalan maksimal dari tingkat wilayah hingga kelurahan/desa. Suami dari Wagub Sulsel, Fatmawati Rusdi ini juga mampu merangkul berbagai elemen masyarakat lewat ide dan praktik politik kemanusiaan.
Selanjutnya pertanyaan saya kirim kepada beberapa orang dekatnya. Untuk mencari tahu rasa penasaran publik: Apa alasan RMS pindah? Adakah desakan atasannya di partai?Kenapa mesti PSI?
Tentu saja bermacam spekulasi muncul. Beragam tafsir mengemuka. Bebas. Sah saja. Tidak dilarang  berpendapat. Apalagi di era demokrasi yang sedang tumbuhnya di negari kita ini.
Rasanya, dengan melihat rekam jejak kinerjanya yang ciamik, bukan dari unsur internal partainya yang menghendaki dirinya hengkang. Bukan juga dari atasannya  Surya Paloh, sang Ketum. Karena setahu saya, RMS bersama Ahmad Ali dikenal dua “sejoli celebes” yang selama ini jadi kader andalannya.
Kelihatannya datang dari eksternal. Siapa lagi, kalau bukan dari PSI yang dinakhodai Kaesang Pangarep, putra bungsu mantan Presiden Jokowi. Atau setidaknya dari satu tim khusus yang bertugas merekrut orang-orang tertentu yang dikehendaki, untuk mewujudkan keinginan dan impian mereka lolos parlemen di Pemilu mendatang.
Yang pasti, yang tahu alasannya hanya yang bersangkutan. Dan keputusan pindah pun hak sepenuhnya. Bebas. Setiap saat orang kapan saja bisa masuk partai politik, bisa memilih berhenti atau pindah ke partai lainnya. “Tidak ada tekanan,” ujar Mulawarnan, orang dekat RMS yang juga wartawan senior yang terakhir berkarir di Harian Surya.
Kepindahan RMS menurutnya sudah lama berproses.  Bukan ujug-ujug. Telah dipikirkan dan dipertimbangkan masak-masak. Kabarnya, dalam dua kali kunjungan ke Sulsel, Kaesang secara khusus menemui RMS di Makassar. Begitu juga di Jakarta. Posisinya RMS “dilamar”. Hasilnya: deal sejumlah syarat dan lamaran diterima. Ditandai momen jabat keduanya dengan senyum lebar.
Apalagi dengan mengambil keputusan itu, tentu saja dia sudah memahami konsekuensi yang akan diterimanya. Minimal dipecat dari partai lamanya, diberhentikan alias PAW sebagai anggota DPR RI.
Fenomena komunikasi politik seperti ini lebih sering kita dapatkan dari “ordal” atau jalur informal daripada staf  resmi karena adanya fragmentasi dalam organisasi.
Publik memahami langkah politik RMS seperti lukisan impresionis, tak selalu terang benderang. Lebih seringnya  remang. Dan penuh nuansa. Silaturahmi antar tokoh politik yang dibungkus suasana lebaran menjadi metafora indah, tentang bagaimana tradisi bisa meredakan ketegangan atau merajut relasi baru.Meski dibaliknya ada dinamika kompleks.
Ramalan politiknya: diprediksi kepindahan RMS dari Nasdem ke PSI tak sekedar “pindah rumah” tapi berdampak kepada lanskap peta politik nasional, terutama di Sulawesi Selatan. *(Rusman Madjulekka,Jurnalis tinggal di Jakarta) .

YouTube player