MIWF 2025 Resmi Dibuka: Suarakan Isu Kemanusiaan, Inklusi, dan Perlawanan atas Perampasan Ruang Hidup
“Sampai sekarang Palestina tentu saja masih memperjuangkan ruang hidup mereka. Namun yang terjadi di Palestina bukan hanya terjadi di Palestina, juga terjadi di banyak sekali tempat,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti kasus-kasus lokal yang mencerminkan kondisi serupa. “Itu juga terjadi di teman-teman kita di Papua, di sekitar sini, teman-teman kita di Bara-Barayya sudah 8 tahun memperjuangkan haknya, di Pulau Lae-lae juga, di Polobangkeng, Tallo dan lain sebagainya terjadi perampasan ruang hidup. Saya kira kita tidak bisa tidak melakukan apa-apa, dan saya ingin festival ini menjadi bagian aktif untuk melawan dan mendukung solidaritas untuk melawan seluruh perampasan ruang hidup seperti itu,” tuturnya.
MIWF 2025 juga mencatat sejarah dengan menghadirkan komunitas Bissu dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. “Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, seluruh komunitas Bissu di Sulawesi Selatan berkumpul di tempat ini. Ada komunitas Bone, dari Segeri Pangkep, dan akan ada dari Soppeng, Wajo hadir di festival ini,” ujar Aan.
Menurutnya, komunitas Bissu juga mengalami bentuk-bentuk penyingkiran ruang hidup yang selama ini luput dari perhatian publik. “Apa yang mereka alami sebetulnya banyak sekali kisah-kisah penyingkiran ruang hidup mereka. Jadi kisah-kisah penyingkiran ruang hidup dari teman-teman ragam gender itu juga dialami. Saya ingin festival ini juga menjadi bagian untuk melawan semua perampasan ruang hidup seperti itu,” tegasnya.
MIWF 2025 turut melibatkan 300 relawan yang terpilih dari lebih 800 pendaftar. Para relawan telah menjalani persiapan intensif selama tiga bulan untuk menyusun dan mengikuti 34 kelas internal. Kelas-kelas tersebut dirancang secara mandiri oleh para relawan dan mencakup beragam topik, mulai dari pengorganisasian sipil, kesetaraan gender, perancangan festival nir-sampah, festival anti kekerasan, hingga keterampilan teknis seperti pengelolaan audio-visual.

Tinggalkan Balasan