Terkait kepengurusan, ia menyoroti praktik rangkap jabatan antara pengurus dan pengawas yang menurutnya harus dihindari.

“Terkait pembentukan pengurus harus merujuk pada UU No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian sementara juknis dan edaran Menkop tidak boleh bertentangan dengan UU No. 25 Tahun 1992 terkait keanggotaan,” jelasnya.

Sri Rahayu juga menyoroti perlunya kejelasan dan legalitas lembaga yang bertugas melakukan sosialisasi dan pengawasan Kopdes. Ia menekankan bahwa lembaga tersebut harus berasal dari kementerian terkait agar penyampaian visi dan misi Kopdes tetap konsisten dengan Asta Cita dan juknis resmi.

“Lembaga yang hadir mensosialisasikan Kopdes baik berfungsi sebagai pengawasan maupun motivator adalah lembaga yang punya legalitas dari kementerian,” katanya.

Dalam hal pengawasan, ia mengusulkan adanya audit berkala setiap enam bulan sebagai ukuran perkembangan koperasi. Selain itu, lembaga pengawasan yang terlibat harus memiliki kekuatan hukum melalui izin resmi dari kementerian agar proses berjalan tanpa tekanan maupun ketakutan di lapangan.

Ia menambahkan, “Adanya kepastian bahwa akibat hukum yang terjadi di KDMP akan menjadi tanggung jawab pihak yang lalai dalam kewajiban.”

Aspirasi lainnya menyentuh soal mekanisme penyaluran kredit dan perlunya skema pembiayaan yang terukur.

“Kemudahan kredit yang diberikan aturan mengikat sehingga digunakan sebagaimana mestinya,” ujarnya.

Sri Rahayu juga menekankan bahwa tanggung jawab pengembalian dana tidak semestinya dibebankan kepada pengurus maupun pemerintah desa apabila terjadi kredit macet.

Apdesi Sulsel menyampaikan keprihatinan atas rencana skema pendanaan yang menggunakan dana desa sebagai jaminan.

“Skema Kopdes Merah Putih melibatkan 20% pemotongan dana desa tahun pertama, dan 20% berikutnya dijadikan jaminan kredit ke bank negara. Ini sebenarnya melanggar UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa,” tegasnya.

YouTube player