MAKASSAR – Menyambut 123 tahun hari kelahiran Bung Hatta-12 Agustus, Ma’ REFAT INSTITUTE Sulawesi Selatan bersama Forum Alumni Sekolah Pemikiran Bung Hatta (FA-SPBH) serta Book Club Alumni SPBH-1, menggelar program “Membaca Kembali Bung Hatta” pada akhir pekan lalu, Minggu 10 Agustus 2025. Memasuki seri yang ke-9, pertemuan kali ini mengangkat topik “Pembangunan dan Dinamika Koperasi di Indonesia.”

Bertempat di Kantor LINGKAR-Ma’ REFAT Makassar, pertemuan siang itu menghadirkan dua orang Pemantik sekaligus Pembaca Buku 6 Karya Lengkap Bung Hatta, yakni Ery Angga Syamsuddin selaku Peminat Gerakan Koperasi dan Mantan Pekerja BUMN, dan Muhammad Satriawan Hamsari sebagai Pelaku UMKM yang juga Peminat Gerakan Koperasi. Diskusi dibuka tepat pada pukul 13.30 WITA.

Mengutip Bung Hatta, Ery membuka sesi pemaparannya, “Sebagai suatu bangsa yang berpuluh-puluh tahun berjuang menentang imperialisme dan kolonialisme, kita ingin melihat bangsa kita hidup makmur dan sejahtera, bebas dari kesengsaraan hidup. “Demikian pidato Bung Hatta yang dibacakan Ery di hadapan peserta.

Idealitas Bung Hatta tersebut terpancang dalam Pasal 33 UUD 1945, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Ini berarti bahwa sistem ekonomi Indonesia haruslah dibangun atas dasar kerja sama, gotong royong, dan kekeluargaan.

Ery menjelaskan, perekonomian sebagai usaha bersama dengan berdasarkan kekeluargaan tak lain adalah koperasi, sebagaimana yang telah diperjuangkan oleh Bung Hatta. Sebab koperasi lah yang menyatakan kerja sama antara mereka yang berusaha sebagai suatu keluarga, yang di dalamnya tidak ada pertentangan antara majikan dan buruh, atau antara pemimpin dan pekerja. “Yang bekerja adalah anggota dari koperasi, semuanya sama-sama bertanggung jawab atas koperasinya itu. Seperti setiap anggota keluarga yang bertanggung jawab terhadap keselamatan rumah tangganya.”

Ironisnya, realitas pembangunan ekonomi kita hari ini sangatlah jauh dari apa yang dicita-citakan Bung Hatta. Saat ini, negara menganut sistem ekonomi neoliberal; cabang-cabang produksi dikuasai oleh segelintir orang, “Bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh segelintir orang di Indonesia.” Konsentrasi modal pada segelintir orang, bukanlah moralitas koperasi. Didikan koperasi harus banyak berdasar kepada humanisme dan pengertian tentang gotong-royong.

Meskipun saat ini, pemerintah Indonesia mencanangkan program Koperasi Merah Putih, tetapi bagi Ery ini bukanlah koperasi. Skema Top-Down dalam program ini amatlah jauh dari pondasi koperasi. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Bung Hatta, “Pemerintah boleh merencanakan dan mengatur, akan tetapi apabila peraturan itu tidak berbunyi dalam keinsafan rakyat, peraturan itu tidak akan hidup dalam masyarakat.”

Mengambil alih sesi, Satriawan mengungkapkan, Bung Hatta menolak sistem liberal yang hanya menguntungkan segelintir orang. Ia menekankan pentingnya ekonomi yang diatur, dan dalam konteks itu koperasi menjadi pilar yang mampu menyusun kembali kekuatan rakyat secara terorganisir dan bermoral. “Koperasi adalah alat rakyat untuk menyusun kekuatan sendiri,” tegas Satriawan.

Pemantik yang akrab disapa Wawan ini menampik anggapan bahwa koperasi tidak memiliki best practice di Indonesia. Baginya, Koperasi yang sesungguhnya, telah diprakarsai oleh Bung Hatta di masa hidupnya. Wawan menyampaikan, dalam lima tahun sejak dimulainya Hari Koperasi pada 1951, gerakan tabungan rakyat mengalami lonjakan signifikan. Anggota dan koperasi bertambah pesat, menunjukkan kesadaran masyarakat untuk menabung dan berorganisasi. Hasil ini dicapai meski modal awal hampir tidak ada, membuktikan bahwa gotong royong melalui koperasi efektif membangun kekuatan ekonomi rakyat.

Dalam lima tahun pertama pula, gerakan koperasi Indonesia mencatat kemajuan pesat. Jumlah koperasi dan anggota meningkat tajam, begitu juga simpanan dan modal yang berhasil dihimpun. Terhitung dalam catatan Bung Hatta, total kapital koperasi hingga akhir 1956 mencapai kurang lebih 300 juta rupiah. Bung Hatta menegaskan bahwa keberhasilan ini lahir dari kesadaran dan kerja sama rakyat sendiri. Semangat solidaritas, tanggung jawab, dan kepercayaan diri menjadi pondasi utama perkembangan koperasi nasional.

Pertumbuhan koperasi tak hanya tercermin dari simpanan, tapi juga dari perputaran barang dan nilai pinjaman. Lebih dari 1 miliar rupiah barang telah beredar melalui koperasi pada tahun 1955. Rakyat semakin percaya dan aktif dalam aktivitas koperasi. Ini menandai koperasi sebagai kekuatan nyata dalam sistem perekonomian nasional. “Ini semua berakar dari kekuatan moral koperasi: kerja sama yang jujur dan penuh setia kawan, bukan dari tokoh-tokoh luar biasa, melainkan rakyat biasa yang bersatu dalam semangat gotong royong,” pungkas Wawan.

Ini seolah menjawab stigma dan doktrin bahwa orang miskin tidak bisa mencapai kesuksesan, orang miskin tidak bisa berdaya, karena kita hanya memiliki aset kecil. Ternyata dengan mengelolanya secara bekerja sama, menunjukkan hasil yang luar biasa. Ini menunjukkan bahwa, ketika aset-aset kita digabungkan dengan asas kekeluargaan, kita sebenarnya bisa berdaya.

Mengutip Bung Hatta, Wawan menyampaikan, “Koperasi haruslah tampil sebagai penyeimbang dominasi kapitalisme, dan menjadi manifestasi dari ekonomi, berdasar kekeluargaan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945.”

Namun sayangnya, bagi Satriawan ada upaya untuk menghilangkan pemikiran Bung Hatta tentang koperasi, lalu memberikan pendefinisian baru terhadapnya. “Hal ini terbukti dengan hilangnya penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan dasar perekonomian adalah koperasi, setelah undang-undang ini diamandemen,” tutup Wawan.

Pertemuan yang berjalan selama dua jam ini, seperti biasa dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan, baik mahasiswa, dosen, aktivis lingkungan, dan juga pelaku usaha serta karyawan swasta.