Sulsel Peringkat Tertinggi Konflik Agraria, Petani Takalar Hidup dalam Intimidasi
RAKYAT.NEWS, MAKASSAR–Konflik agraria kembali menegaskan wajah suram pembangunan di Sulawesi Selatan. Di balik klaim negara tentang reforma agraria, ribuan keluarga petani justru terusir dari tanah mereka, dipaksa bekerja sebagai buruh tani di lahan yang seharusnya menjadi milik sendiri. Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan, sepanjang 2024 Sulsel menempati peringkat tertinggi konflik agraria di Indonesia.
“Ratusan konflik agraria di tahun 2024 sendiri itu terjadi di berbagai kabupaten di Sulawesi Selatan, rata-rata di sektor perkebunan dan kawasan hutan,” kata Indarto, Divisi Kampanye dan Database KPA Sulsel, melalui sambungan telepon.
Indarto menambahkan, tren konflik belum mereda pada 2025. “Mulai awal tahun hingga Agustus 2025, catatan KPA sudah cukup banyak terjadi ledakan konflik, khususnya di PTPN, di Kabupaten Takalar dan Kabupaten Luwu Timur,” ujarnya.
Luka Panjang di Polongbangkeng
Salah satu titik yang masih membara adalah Polongbangkeng, Takalar. Layu, seorang petani yang sejak lama mempertahankan tanahnya, menuturkan bagaimana keluarganya terus hidup dalam bayang-bayang intimidasi.
“Tanah saya dirampas sejak tahun 1981, dan yang merampas adalah perusahaan PTPN. Kami kerja sebagai buruh tani untuk kebutuhan sehari-hari. Dampak paling berat adalah sulit memenuhi kebutuhan keluarga. Selalu tidak tenang, merasa tidak adil, karena selalu diintimidasi, dan pemerintah setempat tidak pernah membantu,” ungkapnya.
Layu mengaku bertahan karena tidak punya pilihan lain. “Saya tetap bertahan karena selalu diancam sama pihak perusahaan dan aparat. Harapan saya, semoga lahan kami segera dikembalikan,” katanya.
Dominasi Perusahaan Negara
KPA Sulsel menilai PTPN mendominasi konflik agraria di provinsi ini. Sepanjang 2025, perusahaan negara itu disebut melakukan kriminalisasi terhadap petani di Takalar dan Luwu Timur.
“Kalau tahun 2025, jumlah konflik agraria tertinggi itu didominasi oleh perusahaan milik negara, yaitu PTPN. Ada upaya kriminalisasi di Kabupaten Takalar sepanjang Juni sampai Agustus. Kemudian ada juga di Kabupaten Luwu Timur, mulai Januari hingga September ini,” kata Indarto.
Menurutnya, pemerintah daerah tidak memiliki keberanian politik untuk menghadapi perusahaan milik negara maupun kementerian yang membawahi mereka.
“Bupati atau gubernur itu tidak berani mengambil keputusan ketika dia berhadapan dengan kementerian BUMN, apalagi bicara kawasan hutan,” jelasnya.
Reforma Agraria yang Mandek Di tengah situasi ini, gagasan reforma agraria yang dijanjikan pemerintah pusat tak kunjung terlihat nyata. Rapat Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang dipimpin pejabat provinsi hanya berhenti pada program administrasi tanah, bukan menyentuh konflik-konflik agraria yang sudah berlangsung puluhan tahun.
“Komitmen pemerintah provinsi Sulawesi Selatan terkait penyelesaian konflik agraria itu tidak ada, baik itu komitmen politik ataupun kebijakan,” tegas Indarto.
Harapan yang Tersisa
Di jalanan Makassar, puluhan organisasi tani, mahasiswa, dan elemen masyarakat lain turun aksi pada Hari Tani Nasional 24 September 2024 lalu. Mereka mendesak negara mengembalikan kedaulatan agraria kepada rakyat, membentuk badan penyelesaian konflik di bawah presiden, hingga menghentikan kriminalisasi terhadap petani. Bagi Layu, semua desakan itu sederhana: tanah kembali kepada pemiliknya.
“Kalau saya bertemu dengan pemerintah, saya akan sampaikan agar kiranya mohon segera diselesaikan masalah ini, yang telah lama dirampas oleh perusahaan PTPN, pabrik gula,” ujarnya.
Sementara itu, KPA menekankan perlunya komitmen politik dari pemerintahan Prabowo–Gibran. “Harapannya pemerintah betul-betul melaksanakan reforma agraria sejati, bukan hanya janji-janji atau pidato pasal 33 UUD, tapi berani mengambil langkah besar,” kata Indarto.
Dwiki Luckianto Septiawan

Tinggalkan Balasan