Dalam penjelasannya, Prof Hamid turut mengurai kronologi penguasaan lahan oleh PT Hadji Kalla, yang menurutnya memiliki dasar hukum kuat dan berkesinambungan sejak awal 1990-an.

“Selanjutnya, kalau Anda runut ke belakang, maka pada tahun 1991 PT Hadji Kalla sudah mengukur tanah tersebut dan ada surat keterangan dari camat dan yang membayar biaya pengukuran itu adalah H.M. Jusuf Kalla. Lalu, pada tahun 1993 sudah ada akta jual beli, dan 1996 mendapatkan sertifikat. Otentik semua,” paparnya.

Ia juga menambahkan bahwa PT Hadji Kalla bahkan telah memperpanjang SHGB tersebut pada 2016 hingga tahun 2036. Dengan seluruh dokumen dan tahapan hukum yang lengkap, ia menilai duduk persoalan kepemilikan sebenarnya sangat terang.

“Lalu pada tahun 2016, ada perpanjangan SHGB sampai 2036. Saya tidak ingin memberi evaluasi dalam bentuk judgement. Silakan kawan-kawan pers memberi judgement dengan kronologi yang saya ceritakan bahwa siapa sebenarnya pemilik yang sah dalam kasus ini?” katanya.

Prof Hamid kemudian menarik kesimpulan tegas mengenai posisi hukum PT Hadji Kalla dalam sengketa ini.

“Saya hanya mau menyimpulkan bahwa pemilik yang sah adalah PT Hadji Kalla. Bukan orang yang berteriak bahwa PT Hadji Kalla bukan pemilik. Maka dapat saya katakan bahwa jangan sampai Anda dikategorikan pencuri teriak maling,” tutupnya.

Pernyataan Prof Hamid ini menambah daftar dukungan terhadap argumen hukum PT Hadji Kalla, yang sebelumnya telah disampaikan oleh Chief Legal & Sustainability Officer Kalla, Subhan Djaya Mappaturung, serta kuasa hukum Muhammad Ardiansyah Harahap dan Hasan Usman.

Mereka menegaskan penguasaan fisik lahan sejak 1993, keberadaan empat SHGB tahun 1996, serta akta pengalihan hak tahun 2008, yang menjadi dasar kepemilikan seluas 164.151 meter persegi di kawasan Tanjung Bunga.