“Kalau hari- hari libur atau akhir pekan, jumlah pengunjung yang datang bisa mencapai ratusan orang. Orang- orang yang datang juga tidak hanya dari kalangan orang Maros saja akan tetapi juga oleh warga dari daerah,” ujar Muhajir.

Pak Muhajir selaku pengelolah mengatakan bahwa semenjak pandemi, perekonomian ditempat wisata Puncak Makkaroewa ini menjadi sepi pengunjung, mata pencarian warga sekitar lokasi wisata menurun.

Ia menyebut, bahwa awal mula keberadaan kawasan wisata puncak Makkareowa ini dari terbentuknya Forum Pemuda Labuaja yang selanjutnya memikirkan perkembangan untuk menunjang pemberdayaan desa.

Melalui Forum Pemuda itulah terpikirkan untuk memanfaatkan lahan hutan pendidikan Universitas Hasanuddin Makassar seluas 1 hektare menjadi sebuah taman wisata Makkareowa hingga saat ini.

Muhajir menambahkan, dahulu sebelum adanya kawasan wisata hutan pendidikan unhas dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mencari kayu bakar dan madu hutan. api setelah warga mengumpulkan ide, akhirnya ada insiatif warga setempat untuk mengubahnya jadi lebih bermanfaat dengan mengubahnya menjadi lokasi wisata.

“Lokasi wisata ini mencontoh lokasi wisata di daerah lain seperti wisata alam Buttu Macca, Kabupaten Enrekang yang menyajikan spot-spot foto yang keren. Tempat Wisata ini dibuka sejak tahun 2017 lalu. Pemasukan dari tiket pengunjung dimasukkan menjadi Pendapat Asli Desa (PADs),” ujar pengelolah tempat.

Baca Juga: PKK Sulsel Sosialisasi Pentingnya Kepemilikan Akta Kelahiran di Maros

Tak sampai di situ, usai puas menikmati pesona puncak Makkaroewa, para pengujung bisa membawa hasil usaha lokal milik masyarakat setempat, seperti tuak manis dengan harga Rp.5000 per botol, gula merah dengan harga kurang lebih Rp.15.000 per bungkus, kue apang Paranggi (bolu berwarna coklat muda yang berbahan dasar gula merah) dengan harga Rp.1000 per bijinya, dan gogos bakar dengan harga Rp.2000, yang tentunya bisa dijadikan buah tangan bagi keluarga.