“Tapi sangat sulit menjual sendiri TBS di PTPN, kita biasanya antre hingga satu minggu sampai buah jadi membusuk. Makanya petani lebih memilih menjual di pengepul yang harganya diturunkan hingga 100 persen,” tuturnya.

Pada waktu itu, lanjutnya, TBS yang seharusnya Rp 1.000 per kilogram hanya dihargai Rp 500 oleh para pengepul.

“Terpaksa petani jual murah, daripada busuk dan tidak laku sama sekali,” kata Mukaddas.

“Ketika PT Jas Mulia resmi beroperasi harga langsung stabil karena petani bisa membawa langsung TBS-nya ke pabrik dan antrinya pun paling lama hanya sehari,” katanya.

Mukaddas pun mengakui pendapatannya dari kebun kelapa sawit kini naik 200 persen.

“Saya punya kebun sawit empat hektar, dulu dalam sekali panen atau dua minggu harga TBS saya hanya berkisar Rp 2 juta. Setelah ada pabrik dan harga stabil, kini saya bisa mendapatkan Rp 6 juta sekali panen,” jelasnya.

Dampak positif kehadiran PT Jas Mulia diamini pula Sudirman Salomba.

Seorang anggota DPRD sekaligus petani sawit.

Menurut Sudirman, TBS di Luwu Utara hanya dihargai Rp 400 per kilogram di tingkatan petani tahun 2014.

Ketika itu belum ada pabrik kelapa sawit di kabupaten berjarak 450 kilometer dari Makassar.

“Waktu itu harga sangat rendah, bahkan ada petani yang tidak mau memanen kelapa sawitnya karena harga tidak bisa menutupi biaya panen,” kata Sudirman.

Barulah ketika PT Jas Mulia hadir harga normal.

“Sejak Jas Mulia beroperasi setahun lalu, harga terendah di tingkatan petani masih Rp 800. Bandingkan sebelumnya yang pernah hanya Rp 400,” paparnya.(yustus)