Sementara terhadap Pemohon II dan III, norma Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja juga berpotensi menghalangi hak konstitusionalnya karena sebagai bagian dari warga negara yang memiliki perhatian pada persoalan administrasi pemerintahan, maka dengan tiadanya kewenangan pengadilan yang berkaitan dengan upaya hukum Fiktif Positif berdampak pula pada tugas advokasi yang ditekuninya.

Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 53 ayat (4) UU AP sebagaimana termuat dalam Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja sebagaimana telah diputus MK dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Melalui pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan.” Sehingga, selengkapnya berbunyi, “Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum, melalui pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan.” Atau setidaknya MK menyatakan UU Cipta Kerja sebagaimana telah diputus MK dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tidak berkekuatan hukum mengikat selama dua tahun sampai prosedur pembentukannya diperbaiki oleh pembentuk undang-undang.

Sidang Panel MK dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams bersama Hakim Konsititusi Manahan MP Sitompul dan Saldi Isra.

Kerugian Konstitusional

Terhadap permohonan para Pemohon ini, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menasihati para Pemohon agar menjelaskan dan menguraikan kerugiannya atas keberlakuan norma yang diujikan.
Menurut Manahan, para Pemohon belum menjelaskan secara rinci kerugian atas upaya hukum Fiktif Positif yang benar-benar terlihat mencirikan kekosongan hukum yang dimaksudkan.

Sementara Hakim Konstitusi Saldi mencermati kedudukan hukum (legal standing) Pemohon II. Saldi meminta Pemohon II menunjukkan bukti penelitian yang telah dilakukan pada bidang yang ditekuninya menyangkut isu administrasi pemerintahan.