Mengapa Gubernur tampak begitu tak berdaya terhadap wakilnya? Pertanyaan ini kemudian menyeruak ke ruang publik. Panasaran, pasti. Sebab publik tahu bahwa Gubernur sebenarnya bukan sosok yang lemah. Ia bahkan terkesan sebagai seorang yang power full dan suka mendominasi. Kesan itu tampak sangat jelas saat ia menjabat bupati di sebuah kabupaten di Prov. Jazirah Selatan.

Situasi ini lalu mengundang ragam spekulasi di tengah publik. “Jangan-jangan Gubernur tersandera oleh pemilik modal.” Kira-kira demikian antara lain spekulasi yang berkembang. Sudah bukan rahasia lagi kalau di setiap pilkada, pemilik modal besar bergentayangan mencari kandidat yang memiliki nilai elektoral yang bagus. Tidak tanggung-tanggung, mereka bahkan menggunakan instrumen survey untuk menemukan kandidat yang dimaksud untuk diongkosi.

Pilkada membutuhkan biaya besar, sudah menjadi rahasia umum. Seorang kandidat yang memiliki potensi elektoral namun tidak punya modal yang cukup, pun menyadari hal itu. Apa boleh buat, demi sebuah ambisi, terpaksa mencari pemodal. Kandidat dan pemodal lantas bertemu. Deal. Si Kandidat menyetujui sejumlah syarat yang diajukan si Pemodal. Termasuk syarat calon wakil yang diajukan si Pemodal, pun, harus ia terima. Alhasil, berkat gelontoran dana hingga ratusan milyar, si Kandidat bersama wakilnya berhasil memenangkan Pilkada secara meyakinkan, dan terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur.

Ternyata, tidak lama setelah menjabat, Gubernur terpaksa menghadapi kondisi yang dilematis. Antara memenuhi janji kampanye dan sumpah jabatannya versus janjinya pada si Pemodal, terutama kaitannya dengan pengembalian ongkos pemenangan. Jika ia memilih memenuhi janji kampanye dan sumpah jabatannya, maka ia harus menjalankan pemerintahannya dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance. Tetapi pilihan itu, tentu menjadi berita buruk bagi si Pemodal.