Jakarta – Indonesia sangat berpeluang untuk menjadi raksasa pangan dunia terutama padi. Pasalnya, Indonesia sebagai salah satu negara agraris terbesar di dunia memiliki sumber daya alam yang luar biasa.

Padi bagi Indonesia menjadi komoditas prioritas strategis karena menghasilkan beras, bahan pangan yang paling banyak dikonsumsi.

Bahkan, beras juga menjadi sumber karbohidrat utama bagi kebanyakan negara-negara di Asia.

Kinerja produksi padi nasional selama ini menurut Dekan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Prof. Salengke tidak ada masalah.

Baca Juga: Antisipasi Kemarau 2022, Kementan Dorong Gerakan Panen Air

“Dari aspek produksi tidak ada masalah, sistem distribusi pupuk subsidi yang termonitor secara online berkontribusi pada peningkatan produksi karena cukup tepat sasaran. Dan saya lihat, optimalisasi pemanfaatan program perluasan sawah di masa Pak Syahrul juga berkontribusi pada kinerja pertanian yang luar biasa terutama untuk sektor padi,” kata Prof Salengke saat dihubungi melalui telepon, Sabtu (09/04/2022).

Ada tiga aspek dalam kaca mata Prof Salengke yang harus menjadi perhatian dalam rangka meningkatkan produksi padi sehingga Indonesia bisa menjadi raksasa pangan dunia.

1. Penggunaan benih.

Prof Salengke mengatakan, untuk meningkatkan produksi, salah satunya yang harus dicari adalah benih-benih yang umurnya lebih genjah lagi.

Saat ini menurut Prof Salengke sudah ada yang 70 hari sudah panen. Dengan begitu, siklus panen bisa 5, malah ada yang mengatakan bisa 6 kali per 2 tahun.

“ini artinya, bisa meningkatkan jumlah panen sampai 30 persen untuk setiap dua tahun,” ujarnya

2. budidaya.

Menurutnya, masih banyak petani yang mengambil jalan mudah, tidak mau repot sehingga melakukan tabur benih langsung. Hal tersebut mengakbiatkan inefisiensi penggunaan benih dan anakan menjadi sulit dikontrol.

“Padahal sistem Legowo atau sistim lainnya lebih produktif. Di sinilah peran intervensi ketersedian transplanter oleh pemerintah sehingga jarak tanam dan berapa jumlah yang ditanam dalam setiap lobang bisa dikontrol,” katanya.

3. penerapan mekanisasi.

Prof Salengke mencontohkan bahwa dengan penggunaan Combine Harvester, bukan hanya mempersingkat tapi juga mampu menekan kehilangan (losses) panen.

Namun, ia mengingatkan bahwa sektor pertanian hari ini dan masa datang menghadapi hal krusial, yaitu alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi lahan komersil lainnya dan ketersediaan air. Jika dua hal itu tidak ditangani secara komprehensif, ke depan menurutnya akan menjadi masalah.

“Penggunaan teknologi molekuler seperti teknologi gen editing dapat menjadi solusinya. Ada Inventor dari Inggris menggunakan teknologi tersebut untuk mengembangkan padi yang tahan salinitas tinggi sehingga dapat ditanam pada lahan rawa dekat pantai. Benih yang dihasilkan mulai diuji coba di Vietnam. Indonesi-kan negara kepulauan, di sepanjang pantai itu salinitasnya tinggi, dan kalau kita berhasil mengarah ke sana, saya kira kita akan aman ke depannya,” pungkasnya.

Sebelumnya, dalam beberapa pemberitaan yang mengutip data FAO menyebutkan bahwa Indonesia berdasarkan data badan pangan dunia FAO pada tahun 2018 menduduki peringkat produktivitas kedua dari 9 negara negara FAO di Benua Asia yang menghasilkan produksi beras melimpah.

Baca Juga: Pengamat Nilai Indonesia Berhasil Tingkatkan Produktivitas Padi dan Jagung

Adapun urutan tingkat produktivitas tertinggi adalah Vietnam 5,89 ton per hektar, nomor dua Indonesia 5,19 ton per hektar, selanjutnya Bangladesh 4,74 ton per hektar, Philipina 3,97 ton per hektar, India 3,88 ton per hektar, Pakistan 3,84 ton per hektar, Myanmar 3,79 ton per hektar, Kamboja 3,57 ton per hektar dan Thailand 3.l,09 ton per hektar. Untuk tingkat Asia posisi produktivitas Indonesia berada di peringkat kedua setelah Vietnam.