Makassar, Rakyat News – Hak Asasi Manusia sebagai hal yang kodrati, secara absolut melekat pada setiap individu manusia tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, agama dan pandangan politik.

Dalam sejarah panjangnya, Hak Asasi manusia telah terbagi menjadi tiga generasi. Generasi Pertama; Hak Sipil dan Politik (Liberte); Generasi Kedua, Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Egalite) dan Generasi Ketiga, Hak Solidaritas (Fraternite) atau biasa juga disebut Collective Rights.

Konsep HAM berakar pada penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk berharga dan bermartabat. Konsep HAM menempatkan manusia sebagai subyek, bukan obyek dan memandang manusia sebagai makhluk yang dihargai, dihormati dan bermartabat.

Manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, serta hak beragama dan hak berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan.

HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apa pun dan juga tidak boleh ada pembatasan (limitation) dan pengekangan (restriction) atau ancaman pidana sekalipun terhadap kebebasan dasar manusia.

Secara normatif, penghormatan, perlindungan dan pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia mengalami kemajuan dengan dibentuknya undang undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan undang undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Berdasarkan kedua regulasi tersebut Indonesia telah mempunyai mekanisme nasional untuk menuntut dan mengadili kejahatan yang tergolong pelanggaran HAM berat yang masuk dalam kategori kejahatan internasional. Meskipun telah ada dalam amandemen keempat UUD 1945 telah memberi jaminan hak asasi jauh lebih luas.

Quo vadis penegakan HAM

Peringatan hari Hak Asasi Manusia Internasional adalah momentum tepat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah terkait kebijakannya dalam hal penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM di indonesia. Termasuk keberpihakan pemerintah terhadap kaum rentan seperti, Perempuan, anak, penyandang disabilitas, buruh, Masyarakat Adat dan kaum Minoritas.

Menurut Prof. Romli Atmasasmita, negara hukum demokratis itu digali dari tiga pilar yaitu penegakan hukum (rule of law), perlindungan HAM (enforcement of human right) termasuk penegakan hukum HAM-nya dan akses masyarakat untuk memperoleh keadilan (acces to justice).

Peristiwa penyerangan Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) yang menewaskan 31 pekerja di Nduga, Papua, 2 Desember 2018 lalu, apakah merupakan kejahatan melawan kemanusiaan (crime againts humanity) sebagai bagian dari serangan sistemik yang terarah pada penduduk sipil sebagaimana Pasal 9 Undang undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, atau bukan.

Bahkan sampai hari ini belum terungkap siapa aktor intelektual dibalik pembunuhan pejuang HAM Alm. Munir Said dan penyiraman air keras ke wajah Penyidik KPK Novel Baswedan.

Demikian pula kerusuhan massal di beberapa kota di Papua dan Papua Barat, seperti di Monokwari, Jayapura dan Wamena pada Senin, 23 September 2019 yang memakan korban bukan hanya dari masyarakat sipil tapi juga dari Pihak TNI Polri.

Kerusuhan ini dipicu isu rasisme sebelumnya terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang. Aksi unjukrasa mahasiswa se-Indonesia pada tanggal 24 September 2019 yang menolak pengesahan beberapa rancangan undang undang termasuk RKUHP dan revisi undang undang KPK. Dua mahasiswa meninggal tertembak di kendari dan siswa STM di Jakarta diduga meninggal akibat penganiayaan aparat kepolisian, demikian pula kekerasan aparat terhadap jurnalis. Semua berlalu tanpa proses hukum yang memadai dan adil bagi para korban, sehingga menambah deretan panjang dugaan pelanggaran HAM dan melemahkan semangat pemajuan HAM di Indonesia.

Tugas KOMNAS HAM RI untuk menginvestigasi secara menyeluruh dan mendalam dugaan pelanggaran HAM dalam kasus-kasus tersebut.

Kebebasan universal

Kebebasan adalah ruang bagi setiap orang untuk mengekspresikan aspirasi dan mengartikulasikan kepentingan secara damai tanpa kekerasan. Kebebasan menyampaikan pendapat secara damai dihadapan publik, jelas bukan suatu kejahatan. Para pejabat negara yang menjadi sasaran kritik, seharusnya tidak boleh menggunakan aparat untuk menangkap dan menahan pelaku kebebasan ini dengan tuduhan perbuatan makar atau melawan hukum.

Kebebasan adalah kebutuhan bagi setiap orang dan berguna bagi demokratisasi, sementara kejahatan adalah perbuatan yang membahayakan atau merugikan orang lain.

Manusia sebagai makhluk berharga dan bermartabat harus bebas dari diskriminasi gender, ras, dan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya, bebas dan merasa aman, bebas dari perbudakan, bebas dari penyiksaan dan kekejaman yang tidak manusiawi, bebas dari penangkapan dan pengasingan yang sewenang-wenang, berhak mendapatkan pengadilan yang adil, bebas dari campurtangan dalam hal-hal pribadi, bebas untuk berpindah dan menetap, berhak mendapatkan perlakuan yang layak, bebas untuk berpikir, berpendapat dan beragama, bebas untuk berkumpul dan berserikat, dan berhak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan secara langsung melalui pemilihan yang bebas.

 

(Refleksi hari HAM Internasional)
Oleh: Abdul Aziz Saleh, SH., MH
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Sulawesi Selatan