Hal yang perlu direspon, pertama, karena RUU ini salah satu prioritas dalam prolegnas dan mengantisipasi molor dari waktu yang ditetapkan. Maka, masukan-masukan dari partisipasi publik perlu diprioritaskan pada hal-hal yang mengutamakan argumentasi konstruktif. Hindari argumentasi yang berujung debat kusir. Materi yang muatannya konstruktif akan bisa menghasilkan undang-undang yang membawa dampak perubahan nantinya.

Kedua, public hearing tidak hanya mendengar sebatas mendengar masukan saja, tetapi perlu ada uji materi. Uji materi ini dilakukan dalam rangka untuk mengetahui dampak teknisnya, apakah bila dilaksanakan akan ada yang dirugikan atau tidak secara sistemik? Dampak teknisnya tidak hanya soal ekonomi saja, bisa mencangkup soal keadilan pekerja, soal kerusakan alam, dan penggusuran yang selama ini memang itu yang menjadi alasan sebagian masyarakat menolak RUU ini. Untuk itu perlu melibat perwakilan orang-orang yang kompeten di bidang ekonomi, sosial, budaya, lingkungan dan pihak-pihak terkait yang terdampak sistemik dalam uji materi tersebut.

Ketiga, percepatan pembahasan RUU Cipta Kerja ini memang perlu dilakukan dan perlu pula ada penyesuaian ulang terkait konteks RUU Cipta Kerja ini dibikin. Mengingat RUU ini dibikin dikondisi sebelum pandemi covid-19 terjadi, sehingga perlu ada penyesuaian kembali konteks Indonesia saat ini. Meski dampak dirasakannya tidak bisa secara langsung atau tidak bersifat jangka pendek. Tetapi bilamana RUU Cipta Kerja tidak segera disahkan maka pemulihan ekonomi pasca pandemi covid-19 bisa berjalan lambat pula. Hal ini mengingat tidak adanya stimulus untuk menarik minat investor ke Indonesia. Penulis: Almira Fadhillah (Pasca Sarjana Univ. Gunadharma).(*)