“Penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945,” tambahnya.

Sebab itu, menurut Fahri, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016. Hal itu dianggap pentinggi agar tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut. Dan tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah.

“Selain itu, dengan peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif,” paparnya.

Sebab, kata Fahri, dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun yang definitif.

Sehingga berdasarkan konstruksi hukum yang telah ditetapkan oleh MK, menurut hemat Fahri, keterlibatan TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil semisal penjabat kepala daerah adalah tidak terdapat landasan konstitusional yang memadai.

“Sehingga sangat berkonsekwensi terhadap segala produk kebijakan yang dilahirkan oleh Penjabat kepala daerah dari prajurit aktif TNI itu potensial bermasalah secara hukum dan rawan akan di gugat ke pengadilan. Jika ini yang terjadi akan menjadi sangat serius terhadap kerja kerja kepemerintahannya, sebab terbentur dengan aspek legalitas jabatannya, dapat dibayangkan jika segala kebijakan dan keputusan strategis dan berdampak luas oleh penjabat itu, sepanjang yang terkait dengan aspek keuangan, organisasi dan personil ASN dipersoalkan dipengadilan, maka tentunya hal ini akan sangat “complicated” secara ketatanegaraan, dan mempengaruhi fungsi pemerintahan didaerah itu,akan lebih banyak “mafsadat”nya, ini catatan serius yang harus diperhatikan oleh Menkopolhukam, tutup Fahri Bachmid.

Baca Juga : Pengujian UU Otsus Papua di MK, Pemerintah Hadirkan Fahri Bachmid sebagai Ahli Presiden