Jakarta, Rakyat News – Salah satu buah reformasi adalah amandemen terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang antara lain memperteguh.

Jaminan Hak Asasi Manusia (HAM). Di antara jaminan HAM tersebut adalah bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat (vide Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945).

Dalam dunia akademik, kebebasan berpendapat berupa kebebasan Akademisi merupakan jantung dari sebuah perguruan tinggi. Kebebasan akademik sebagai ruh sekaligus penciri dari perguruan tinggi yang akan menjadi pendorong bagi terwujudnya
demokratisasi suatu bangsa.

UNESCO mendefinisikan kebebasan akademik sebagai hak yang berupa “kebebasan dalam mengajar dan berdiskusi, kebebasan dalam meneliti dan menyebarluaskan serta menerbitkan hasil riset”.

Pada konteks perguruan tinggi, kebebasan akademik termanifestasi ke dalam Tri Darma Perguruan Tinggi (atau Catur Darma di Universitas Islam Indonesia) yang terdiri atas penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan
dakwah Islamiyah.

Namun sayangnya, perjuangan untuk mendorong Indonesia menjadi negara yang demokratis melalui kebebasan mimbar akademik saat ini diwarnai oleh tindakan yang merusak demokratisasi yang diperjuangkan saat reformasi.

Bukan hanya itu, saat ini telah tumbuh duri-duri yang menghalangi perjalanan menuju demokratisasi yang berupa tindakan intimidasi, teror, bahkan hingga pembatalan serta pembubaran kegiatan akademik di kampus.

Salah satu contoh yang paling aktual yang menunjukkan upaya “pembunuhan” demokrasi adalah tindakan intimidasi yang dilakukan oleh oknum tertentu kepada panitia penyelenggara dan narasumber (Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia) kegiatan Diskusi dan Silaturahmi Bersama Negarawan (DILAWAN) yang diselenggarakan kelompok studi mahasiswa, “Constitutional Law Society” Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) pada 29 Mei 2020.