Pembentukan paradigma memang tidaklah mudah terlebih lagi banyaknya faktor yang membuat subjek tertentu untuk bergerak dalam sebuah perubahan. Terkadang sebuah lingkungan menjadi faktor paling kuat dan mendominasi penentuan sikap subjek tertentu. Tak salah memang dengan alasan faktor lingkungan. Hal tersebut sudah menjadi sesuatu yang lumrah dan naluriah manusia. Alasan utamanya tidak lain yakni keinginan diterimanya suatu insan dalam perkembangan ada disekitarnya (lingkungan). Dan memang tidak mudah untuk merubah hal tersebut, seperti yang dikatakan oleh Aristoteles yakni manusia adalah zoon politicon atau arti lainnya adalah makhluk sosial. Kebutuhan manusia yang utama sebenarnya bukanlah sandang, papan atau pangan sekali pun namun, kebutuhan utamanya yakni sosial, dimana manusia tidak bisa hidup tanpa adanya manusia lainnya dan jika dikaitkan dengan nilai materialistis maka bahan atau alat yang dibutuhkan oleh manusia adalah interaksi.

Jika sandang akan menghasilkan cocok atau tidak, papan menghasilkan nyaman atau tidak dan pangan menghasilkan mengenyangkan atau tidak, maka interaksi akan menghasilkan ‘dipengaruhi’ atau ‘memengaruhi’. Sebenarnya hasil dari interaksi ini pun bukan menjadi hasil akhir namun akan berujung pada eksistensi insan akan keberadaannya. Kalau interaksi yang dibangun mengarah pada ‘dipengaruhi’ maka eksistensi manusia tersebut akan memberikan posisi mainstream yang hanya mengikuti eksistensi manusia lain. Namun, jika interaksi yang dibangun mengarah pada ‘memengaruhi’ maka eksistensi manusia tersebut akan menjadi subjek dalam sebuah lingkungan dan membuat eksistensi manusia lain menjadi objek.

Terkadang manusia lebih peduli akan posisinya dalam sebuah masyarakat atau lingkungan dengan tidak melawan budaya telah dibangun. Tetapi, suatu hal lucu dengan mengingat apa yang dikatakan Gie yaitu “lebih baik saya diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”. Andai semua manusia menyadari akan perkataan itu maka mungkin kemampuan standar sosial pada masyarakat akan berubah drastis. Sebenarnya jikalau manusia hanya mengkhawatirkan posisi serta eksistensinya maka ada pertanyaan lain yang benar-benar mempertanyakan eksistensi yakni “Bagaimana cara agar disaat kita mati nanti, namun akal tetap ada atau hidup?”. Pertanyaan itu akan sulit untuk ditelaah terlebih dulu namun sebenarnya jawabannya sangatlah mudah.