Menulis, dengan menulis membuat akal kita tetap ada atau hidup. Sehingga segala bentuk eksistensi yang diinginkan oleh manusia dan dituliskan maka akan tetap ada. Memang secara fisik akal pun telah mati didalam otak manusia, namun yang menjadi perlu dipahami adalah akal akan disebut akal jika kita dapat digunakan untuk berinteraksi atau lain sebagainya. Hal ini terkait akan akal inilah sebenarnya yang akan menjelaskan eksistensi atau keberadaan manusia.

Untuk mempertahankan hal tersebut pun maka perlu dibahasakan ke dalam aksara tertentu. Sebenarnya sudah banyak contoh bahwa akal manusia yang telah mati masih hidup seperti, H.O.S. Tjokroaminoto yang memperkenalkan akalnya melalui buku yang ditulisnya yaitu ‘Islam dan Sosialisme’ kemudian ada Tan Malaka yang menulis ‘MADILOG’ lalu ada Plato dengan mahakaryanya ‘Republik’. Keberadaan akal mereka sebenarnya masih hidup atau ada namun hanya sedikit yang mengakui keberadaannya yakni manusia yang tidak membaca apa yang mereka tuliskan.

Maka dengan menulis pun sebenarnya menjadi suatu hal yang sudah lama dalam meningkatkan eksistensis manusia namun memang hanya sedikit yang paham akan keberhasilan menulis dalam mengadakan akal yang telah mati atau menjadikannya alat eksistensi dalam sebuah sosial. Jikalau ingin hidup maka hidupkan dengan suatu langkah perubahan yang akan menjadi paradigma masyarakat yang baru sehingga hal ini pun juga dapat menjadi bentuk produktivitas dalam meningkatkan kualitas standar dalam bermasyarakat. Jikalau kita bisa lihat, minat baca di Indonesia pun sangat kecil terbukti dari studi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University bahwa Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara objek penelitian. Terlebih lagi didukung dengan tradisi menulis yang lebih rendah ketimbang membaca dan data berupa sebesar 3,56% penduduk Indonesia yang buta aksara atau setara dengan 5,7 Juta penduduk dari tahun 2015.