RAKYAT.NEWS, JAKARTA – Akibat tidak adanya kepastian hukum untuk menerapkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), membuat adanya dugaan kemunculan mafia tanah dalam konflik agraria.

“Tidak ada menerapkan UUPA, mengakibatkan tidak ada kepastian hukum maupun umum. Sehingga, terkadang menciptakan munculah makin banyak mafia tanah itu,” kata Pakar Hukum Agraria, Dr.Aartje Tehupeiory, Minggu (26/11).

Berdasarkan penelitianya, beberapa perkara sengketa tanah di dalam peradilan diduga tidak mencerminkan keadilan. Karena itu, banyak yang menggunakan paradigma hukum positif.

“Konflik agraria itu harus melalui pendekatan hukum secara konprehensif,” ucap Dr.Aartje.

Ia mengharapkan ruh yang terkandung pada UUPA harus menjadi spirit sebagai dasar mengenai pertanahan.

Dr.Aartje menegaskan kepada semua pihak agar tidak bersebrangan dengan UUPA sebagai payung hukum pada setiap persoalan yang menyebabkan berbagai konflik pertanahan. “Harus di dasari asas-asas yang diatur undang-undang pokok agraria,” kata dia.

Disamping itu, Dr.Aartje juga menyinggung banyaknya konflik pertanahan di suatu daerah dampak kurang memperhatikan UUPA. Sebagai contoh, kata Dr.Aartje, seperti Konflik Proyek Strategis Nasional (PSN) Pulau Rempang, dan Kampus UIII Depok.

Maka dari itu, ia sangat mengharapkan bagi pemilik yang melepaskan atas hak tanahnya untuk keperluan pembangunan PSN atau apapun. “Untuk proyek Pemerintah, pemilik tanah tidak mengalami kemunduran baik dari aspek sosial dan ekonominya, mengenai hal ganti rugi,” kata Dr.Aartje.

Dengan alasan tersebut, ia menganggap penting musyawarah yang optimal. Menurut Dr. Aartje, selama ini kebanyakan musyawarah hal dimaksud hanya sebagian target semata tidak memperoleh kesepakatan bersama. “Harus mencari solusinya agar si pemilik hak tanah tidak mengalami kerugian,” tandasnya.

Seharusnya, mereka yang melepaskan hak atas tanahnya wajib di hormati dan di hargai karena ada keterkaitan soal Hak Asasi Manusia (HAM).