Setelah pekan sebelumnya tampil sebagai pemantik diskusi yang menyoal kompetensi jurnalis, dengan pembanding Fredrich Kuen, M.Si. Direktur Eksekutif Phinisi Pers Multimedia Training Center (P2MTC), yang selama ini dikenal sebagai asesor uji kompetensi wartawan. Fredrich, juga menjabat Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Jurnalis Milenial Bersatu Indonesia (JMBI), maka bergantian Zulkarnain, yang menjadi pembading bagi Fredrich.

Untuk menjadi bukti kompetensi wartawan disertifikasi dan untuk itu Dewan Pers dan lembaga konstituen serta Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), memiliki kewenangan penuh menjalankannya. “Saya adalah bagian dari Dewan Pers dan BNSP yang bisa melakukan sertifikasi,” ujarnya, dihadapan sejumlah wartawan yang hadir dari berbagai media dan organisasi.

Bahkan dosen Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta (PTN/S) di Kota Makassar, juga ikut hadir dalam diskusi. Diantaranya Dr. Sulwan Dase Dosen dari Politeknik Negeri Ujungpandang, Dr. Yahya Mustafa, dosen Unismuh Makassar, yang juga mantan wartawan Pedoman Rakyat. Dalam komentar diskusinya Dr. Yahya, memberikan banyak pandangan berkaitan dengan pentingnya pengetatan pada keluarnya sertifikat kompetensi, karena kualitas berita tidak kunjung membaik, terlebih di era media online yang hanya mengejar kecepatan penyampaian informasi.

Sedangkan Sulwan Dase, meminta agar media dan organisasi menekankan pada kompetensi dan spesifikasi jurnalis yang betul-betul memiliki pengetahuan mendalam pada ilmu tertentu yang menjadi domain liputannya di redaksi. Kedua dosen itu menyebutkan perlunya wartawan cerdas dan sekolah agar lebih memiliki kemampuan nalar, logika dan kompetensi akademik yang baik.

Zulkarnain dan Fredrich berkesimpulan sama, wartawan kompeten itu wajib. Hanya saja menurut Zulkarnain, sebaiknya untuk predikat sertifikasi wartawan muda, mekanisme penilaian diserahkan kepada media atau perusahaan pers yang mempekerjakan wartawannya. Tentu ditunjang oleh uji berkala internal dan pertanggungjawaban karya (berita) selama kurun waktu tertentu.