Adapun Samirin, kakek 68 tahun asal Simalungun, Sumatera Utara, dihukum 2 bulan penjara karena memungut getah karet seharga Rp 17.000.

Sejatinya, kata Burhanuddin, jaksa selaku pemilik asas dominus litis, adalah pengendali perkara yang menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan.

Dia menjelaskan penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif adalah suatu bentuk diskresi untuk menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan tujuan hukum yang ingin dicapai.

“Saya ingin Kejaksaan dikenal melekat di mata masyarakat sebagai institusi yang mengedepankan hati nurani dan penegak keadilan restoratif. Kejaksaan harus mampu menegakkan hukum yang memiliki nilai kemanfaatan bagi masyarakat,” ucapnya, sambil menekankan Korps Adhiyaksa tidak membutuhkan jaksa yang pintar tetapi tidak bermoral.

Sebagai acuan restorative justice, Jaksa Agung telah menerbitkan Peraturan Kejaksaan (Perja) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang diundangkan pada 22 Juli 2020.

Sejak Perja ini diterbitkan, Kejaksaan Agung telah menghentikan 302 perkara. Rinciannya, 222 perkara pada 2020 dan 80 perkara pada Januari-Agustus 2021 yang terdiri dari 73 perkara orang dan harta benda serta 7 perkara terkait keamanan negara dan ketertiban umum serta tindak pidana umum lain.

Ada beberapa syarat penerapan Perja 15/2020, antara lain tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun, serta barang bukti atau nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp 2,5 juta.

Gagasan Jaksa Agung ST Burhanuddin mengenai keadilan restoratif melalui pendekatan hati nurani itu menjadi perbincangan di kalangan akademisi dan pakar hukum pidana.

Gagasan tersebut tidak hanya dinilai revolusioner karena bisa mereformasi sistem peradilan pidana di Tanah Air yang masih terjebak pada pendekatan retroactive/retributive/penjara, tetapi juga dianggap lebih manusiawi dan Pancasilais.